Saturday, February 4, 2012

Kerajaan Mataram Kuna pindah ke Jawa Timur

Tempat - tempat Suci Masa Klasik Muda di Jawa Timur (Abad X - XVI)

Kerajaan Mataram Kuna pindah ke Jawa Timur


Pada abad X dengan alasan yang belum jelas, pusat kerajaan Mataram Kuna dipindah ke wilayah Jawa Timur oleh raja  Mpu Sindok bergelar Sri Isanawikrama Dharmottungadewa. Ia adalah pembentuk (wangsakara)  dinasti Isana, yang memerintah dari tahun 929 hingga tahun 948 Masehi.  Kerajaan yang baru itu tetap  bernama Mataram.

Sejak pemerintahan Mpu Sindok, di Jawa berkembang agama Siwa dari aliran Siwasiddhanta, yang asal muasalnya dari India Selatan, namun di Jawa terjadi beberapa perubahan baik dalam bentuk ajaran maupun ritualnya.

Pada masa pemerintahannya telah disusun kitab-kitab yang disebut Tutur berisi ajaran dan ritual agama Siwasiddhanta, yang tertua di antara Tutur tersebut adalah Tutur Bhuwanakosa.  Agama Siwasiddhanta ini menjadi agama raja-raja dinasti Isana sampai dengan raja-raja Majapahit, walaupun ada yang beragama Buddha Mahayana tetapi jumlahnya tidak banyak.

Seperti masa Klasik Tua di Jawa Tengah, sarana ritual  berupa candi, kolam suci (patirthan) dan gua-gua pertapaan.  Namun  sisa-sisa tempat suci itu dari sebelum masa Singasari tidak banyak yang  sampai pada kita.

Tempat-tempat suci kita kelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu pertama tempat2 suci dari masa pemerintahan  Mpu Sindok sampai dengan masa kerajaan Kadiri, kedua tempat-tempat suci masa kerajaan Singasari dan ketiga tempat-tempat  suci masa kerajaan Majapahit.


Tempat-tempat suci masa pemerintahan Mpu Sindok sampai dengan masa Kadiri

Nama jenis-jenis tempat suci banyak disebut pada prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Mpu Sindok sampai dengan masa Kadiri, namun tidak banyak sisa-sisa sarana ritual tersebut yang diketemukan..  Apa sebabnya tidak jelas, mungkin bangunan-bangunan suci tersebut di buat dari bahan yang mudah rusak, atau memang belum sempat muncul ke permukaan. Pada prasasti kita jumpai nama-nama vihara, prasada (candi dengan atap menjulang tinggi), kabikuan, Sang Hyang Kahyangan, sang Hyang Tirtha Pancuran, patapan, dharma Karesyan dan lain sebagainya.

Beberapa peninggalan dari kelompok pertama ini  antara lain kolam suci (patirthan) Belahan di lereng timur gunung Penanggungan, kolam suci (patirthan) Jalatunda di lereng barat gunung Penanggungan, candi Gurah dekat Kediri, gua pertapaan Selamangleng Kediri,  gua pertapaan Selamangleng Tulungagung, beberapa bangunan “lumbung” yang ditemukan tersebar di daerah antara Madiun dan Pasuruhan.

Patirthan Belahan, sebenarnya merupakan sebuah kompleks dengan beberapa bangunan candi, namun sekarang tinggal kolam dengan dua buah pancuran berupa dua arca dewi, kemungkinan Sri dan Laksmi.


sri_laksmi


foto_sri_laksmi
Di tengah2 kedua dewi tersebut terdapat sebuah relung, yang diperkirakan dahulunya untuk menempatkan arca Wisnu naik garuda dan jelas merupakan sebuah arca pancuran.

Penelitian Th.Resink (1967)  membuktikan bahwa patirthan Belahan dibuat oleh Mpu Sindok, jadi lebih tua dari masa Airlangga.  Sri dan Laksmi dijadikan pancuran, karena sakti (energi) Wisnu, dan di India sejak jaman Veda, Visnu dianggap sebagai pelindung upacara diksa (penebusan dosa) dengan air suci.

Air pemandian Belahan keluar dari puting susu Sri dan pusar Laksmi berarti itu adalah air suci pembersih dosa. 

Patirthan Jalatunda, terletak di lereng sebelah barat gunung Penanggungan, dipahat di dinding karang menghadap ke arah barat.


patirthan_jalatunda


skema_jalatunda
Kolam berbentuk empat persegi panjang, 16 meter panjang dan 13 meter lebar.  Sebuah kolam besar dan dua kolam kecil di sudut kiri-kanan.  Di atas kolam sebelah kanan terdapat inskripsi berbunyi “gempeng” yang tidak jelas artinya, dan di atas kolam sebelah kiri terdapat angka tahun 899 Saka.
Di tengah2 terdapat kolam pusat  berfungsi sebagai tandon air, dan air mengalir dari dinding karang ke pancuran berbentuk lingga semu sebagai puncak (top piece), yang dikelilingi oleh 8 lingga lebih kecil bervariasi ukurannya.  Seekor naga melilit bagian bawah ke sembilan lingga tersebut dan sebuah lapik berbentuk padma menyangga di bawah naga.
Air dari kolam pusat dialirkan ke kolam besar melalui 16 buah pancuran , yang bagian atas dihias dengan panil-panil dengan relief cerita Pandawa dari Adiparwa.  Adegan-adegan yang tergambar mulai dari bhagawan Palasara, kakek Pandawa dan dewi Durgandini (panil I-IV),  kemudian adegan-adegan Pandawa (panil V-X), Abhimanyu dan Utari, isterinya (panil XI), Pariksit anak Abhimanyu yang meninggal digigit ular Taksaka (panil XII),  raja Janamejaya membalas dendam pada ular atas kematian ayahnya dengan menyelenggarakan korban ular atau sarpayajna (panil XIII), pernikahan raja Sahasranika, anak Janamejaya , dengan Mrgawati (panil XIV), Mrgawati yang sedang hamil diculik oleh seekor garuda dan dibawa ke sebuah hutan, (dalam Adiparwa dikatakan bahwa Mrgawati melahirkan anak laki2 bernama Udayana, dan sebagai tanda ia diberi gelang oleh ibunya ) (panil XV), pertemuan Udayana dengan penebang kayu (panil XVI).
Pada lantai kolam telah ditemukan batu peripih, antara lain berisi abu dan benda-benda upacara lainnya yang berupa  abu binatang, mungkin binatang yang dikorbankan dalam upacara pendirian patirthan tersebut.

Patirthan banyak terdapat di wilayah Jawa Timur, ada yang memakai pancuran, namun ada pula yang tidak, jadi langsung dari sumber di kolam tersebut.
Patirthan Sanggariti atau sering disebut candi Sanggariti terletak di Batu, Malang, juga merupakan patirthan penting dan diperkirakan berasal dari masa Sindok atau bahkan sebelum Sindok. Air yang keluar dari sumber di dalam ruang candi (garbhagrha) berupa air panas, dan sekarang dimanfaatkan oleh hotel untuk dialirkan ke kamar2 mandi khusus.


patirthan_sanggariti
Kolam suci merupakan sarana penting dalam ritual keagamaan Hindu maupun Buddha.
Dengan membersihkan diri dengan air suci tersebut akan hilang “kotoran” (klesa) tubuh.  Bahkan dalam kitab-kitab Tutur disebut ritual yang dilakukan sebelum menjalankan berbagai puja dan yoga, yaitu membersihkan diri di kolam suci yang disebut dengan istilah matirtha.

Misalnya dalam sebuah kitab kakawin yang disusun pada jaman Kadiri yaitu kakawin Ghatotkacasraya karangan Mpu Sedah dan Panuluh pada waktu pemerintahan raja Jayabhaya,  pupuh XXIX:7-10, terdapat  cerita tentang Abhimanyu yang ada di hutan, oleh punakawannya disuruh  “meta tirtha” agar bersih dari “klesa ning sarira”.  Setelah itu Abhimanyu disuruh mengucapkan mantra memuja Paramasiwa.


Gua Pertapaan

Disamping kolam suci, pada jaman Kadiri terdapat gua pertapaan, yaitu gua Selamangleng di Tulungagung, dan gua Selamangleng di Kediri.  Di gua Selamangleng Tulungagung  terdapat relief cerita Arjunawiwaha pada dinding gua.


selamangleng


selamangleng_inside
Dipilihnya relief cerita Arjunawiwaha pada dinding gua pertapaan bertujuan menghidupkan suasana tapa pada gua tersebut.

Gua Selamangleng Kediri lebih besar dan terdapat 2 ruangan.  Dinding ruangan tengah di beri relief pegunungan dan pemukiman, rumah-rumah penduduk di pegunungan tersebut.  Menarik perhatian adalah gambaran di dataran di antara bukit2 terdapat gambaran kuburan, tulang-tulang berserakan dan di sekitarnya terdapat beberapa gambaran “lumbung”, yang semula dikira bangunan untuk pemujaan kesuburan padi, ternyata adalah chiti atau tanda penguburan.

Pada masa Jawa Kuna terdapat dua macam penguburan, yaitu dibakar dan abu dilarung di laut atau sungai, dan kedua adalah meletakkan mayat di atas tanah pada tanah kuburan (seperti Trunyan ?).


selamangleng_inside2


selamangleng_inside3
Kemudian diberi tanda dengan bangunan kecil-kecil dengan inskripsi berbunyi sri atau relief sangkha bersayap di atapnya.  Sri sebagai sakti Wisnu adalah dewi kebahagiaan di dunia ini maupun dunia sana, dan sangkha bersayap adalah lambang keluarnya atma dari tubuh.

Apabila raja dan keluarganya meninggal maka dibuatlah arca perwujudannya berupa dewa pelindungnya (istadewata), dan diletakkan di dalam candi dharma-nya, maksudnya candi yang dibangun raja tersebut ketika masih hidup, sebagai dharma (kewajiban) seorang raja.
Namun apabila yang meninggal bukan raja atau keluarganya, maka akan  dikubur di sebuah sema (kuburan) dengan meletakkan mayat di atas tanah, maka diberi tanda dengan chiti berbentuk rumah2an yang disebut “lumbung”.

Patirthan dan gua pertapaan terus dijumpai sampai dengan masa Majapahit, karena dalam agama Siwasiddhanta, ditekankan ajaran tentang cara2 mencapai kamoksan,yaitu usaha meleburkan diri dengan Paramasiwa. Pertama  perlu dijalankan tata upacara sehari-hari yang konkrit, kemudian baru dilakukan pemusatan fikiran  pada yang abstrak , yang dilakukan baik di sebuah patirthan maupun dalam gua-gua pertapaan.

Tempat-tempat suci masa kerajaan Singasari
Kerajaan Kadiri (Daha) runtuh pada tahun 1144 Saka (1222 Masehi) setelah Kadiri dengan rajanya Krtajaya  dikalahkan oleh Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibu kota kerajaan Tumapel atau Singasari. Maka sejak itu dinasti Isana digantikan oleh dinasti Girindra  atau dinasti Rajasa sampai tahun 1292 Masehi.
Pada masa kerajaan Singasari ini bermunculanlah candi-candi  dengan gaya khusus, yang tertua adalah candi Kidal di desa Rejokidal sekarang.


candi_kidal
Menurut kakawin Nagarakrtagama, candi Kidal adalah candi pendharmaan raja Anusapati, raja kedua kerajaan Singasari.  Raja Anusapati diwujudkan sebagai arca Siwa (Siwawimbha), yang dahulunya diletakkan di ruang utama (garbhagrha) candi Kidal, sekarang sudah hilang.
Candi Kidal memiliki struktur candi masa Singasari,  yaitu memiliki tiga bagian candi kaki-tubuh-atap, tetapi tidak mempunyai selasar atau pradaksinapatha, jalan untuk mengelilingi candi seperti halnya candi-candi di masa Mataram Kuna.   Tanpa selasar di antara kaki dan tubuh candi, ditambah dengan atap yang tinggi meruncing dengan kubus sebagai puncak, maka candi Kidal mapun candi-candi lain masa Singasari terlihat ramping.

Dengan perpaduan ragam hias yang serasi, berdasarkan gaya seninya candi-candi ini memperlihatkan gaya seni yang khas dan saya sebut “gaya seni Singasari”.  Candi-candi dengan gaya Singasari dengan sedikit variasi terdapat pula pada masa Majapahit. 
Salah satu ciri candi Kidal yang juga terdapat pada candi-candi pada masa Majapahit, adalah munculnya ragam hias naga dan garuda.  Candi Kidal walaupun candi Saiwa, namun dihias dengan garuda dan naga, bahkan sepasang naga menggantikan sepasang makara  sebagai ragam hias bingkai pintu seperti halnya candi-candi Mataram Kuna.

Jadi, apabila pada candi-candi Mataram Kuna pintu dihias dengan kala-makara, maka candi-candi gaya Singasari dihias dengan ragam hias kala-naga.


kala-naga
Ragam hias garuda-naga terkait dengan cerita Garudeya yang menceritakan garuda mencari air amrta untuk menebus ibunya dari perbudakan ibu para naga.(foto)
Air amrta disimpan di puncak Meru dan dijaga oleh sepasang naga, namun dengan kesaktian garuda, amrta bisa diambilnya.  Wisnu sangat kagum dengan kesaktian dan keberanian garuda , sehingga garuda diminta menjadi wahana (kendaraan)nya.  Dengan adanya motif garuda-naga pada candi-candi masa Singasari dan kemudian pada masa Majapahit, memperlihatkan adanya konsep bahwa candi adalah gambaran Mahameru , tempat tinggal Siwa dan dewa-dewa lainnya.

Candi-candi lain dari masa ini adalah candi Jago, di desa Tumpang Malang, candi Singasari, candi Jawi, dan candi Sawentar.  Candi Jago adalah pendharmaan raja Wisnuwarddhana, raja keempat kerajaan Singasari.  Candi ini pernah diperbaiki oleh Adityawarman pada masa pemerintahan raja Tribhuwanottungadewi, namun bentuknya berubah disesuaikan dengan struktur candi masa Majapahit (foto).


candi_jago
Adapun dua candi yaitu candi Jawi dan candi Singasari adalah candi yang bersifat Siwa-Buddha yang didirikan oleh raja Krtanagara, raja terakhir kerajaan Singasari.  Raja Krtanagara sendiri beragama Buddha Tantrayana, dan karena alasan tertentu, Krtanagara menghidupkan konsep Siwa-Buddha, yaitu suatu pandangan adanya persamaan Hakekat Tertinggi (the Highest Reality) dari agama Buddha, Siwa, Waisnawa dengan segala emanasinya .  Hakekat Tertinggi tersebut hanya satu yang disebut dengan berbagai nama, yaitu Bhattara Buddha atau Paramasunya oleh pemeluk agama Buddha, Sang Hyang Paramasiwa, oleh pemeluk agama Siwa, Bhatara Nirguna oleh pemeluk agama Waisnawa dan sebagainya.

Dengan demikian persamaan tidak seluruh sistem agama, karena  agama2 tersebut masih tetap eksis dengan masing-masing bangunan sucinya, pendeta2nya maupun penganut masing-masing agama yang melakukan tata upacara sesuai dengan aturan agama masing-masing.
Candi Jawi dan candi Singasari diberi sifat agama Buddha dan agama Siwa, arca-arca Saiwa diletakkan di ruang tengah (garbhagrha) dan ruang2 penampil, sedangkan arca Bhattara Buddha ada di atas tidak nampak karena ia adalah Paramasunya (Kehampaan Tertinggi).  Sifat Siwa-Buddhanya terlihat pula pada puncak candi Jawi yang berupa kubus dan stupa.

Dalam kakawin Nagarakrtagama  pupuh LXVI dikatakan bahwa Krtanagara menginginkan agar pemeluk agama Buddha dan pemeluk agama Siwa melakukan puja bersama di candi tersebut.


candi_jawi


relief
Di samping itu gaya relief candi Jawi juga memperlihatkan keunikannya, karena dibuat pipih  dan “en-profile”, sehingga oleh beberapa peneliti disebut gaya wayang.

Berbeda dengan gaya relief candi-candi masa Klasik Tua yang naturalistik, maka sering terjadi salah pengertian bahwa terjadi degradasi pada seni candi Klasik Muda. Hal itu tidak benar, penjelasannya adalah para seniman agama (silpin) masa Klasik Muda mencampurkan konsep lokal pada kreasinya. Menurut Edi Sedyawati, bentuk pipih ini terpengaruh oleh bentuk2 boneka pipih dalam upacara pemujaan arwah (mawayang bwat hyang).  Selanjutnya tontonan masa itu meneruskan “tradisi tokoh pipih”, namun membawakan cerita-cerita  dari mitos dan epos Hindu.  Hal ini berarti terjadi pembauran antara unsur asing (Hindu) dan unsur Jawa asli.  

Tempat Suci Masa Majapahit I

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT.


(foto1).Gapura Bajang Ratu Trowulan
Majapahit sebuah kerajaan  besar yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 Masehi di sebuah hutan Trik yang diperkirakan berlokasi di Trowulan sekarang.(foto 1)
Sebuah kerajaan agro-maritim,  yang hidup dari pertanian dan perdagangan  sekaligus. (foto 2.)
Berdasarkan data artefaktual, dan data tekstual yaitu prasasti, karya sastra Jawa Kuna/Jawa Tengahan, serta berita2 Cina, kerajaan ini berakhir sekitar abad XVI.


(foto2).Relief pada umpak di Trowulan, perempuan menanam padi
Keruntuhan kerajaan ini pertama disebabkan oleh perang saudara, perebutan kekuasaan, dan kedua karena bencana alam gunung meletus. Menurut penelitian Dr Sartono dan Bandono dari ITB (1995), setelah raja Hayam Wuruk wafat, telah terjadi delapan kali letusan gunung Kelud yang sangat merugikan kehidupan di Majapahit.
Sejarah Majapahit ini dimulai ketika Raden Wijaya, menantu raja Krtanagara raja terakhir kerajaan Singasari, menaklukkan raja Jayakatwang raja Kediri dengan bantuan Arya Wiraraja seorang petinggi Madura.

Selain alasan politik, Wijaya menyerang Jayakatwang, karena raja Kediri tersebut yang juga besan Krtanagara, telah menyerang dan membunuh raja Krtanagara ketika Krtanagara sedang melakukan upacara keagamaan dengan para pejabat Singasari dan agamawan kerajaan tersebut. Raden Wijaya kemudian diangkat menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Krtarajasa Jayawarddhana.  Ia mulai membentuk hegemoni Majapahit  dengan usaha legitimasi kedudukannya berdasarkan keterkaitannya dengan raja Krtanagara.

Dalam prasasti Gunung Penanggungan yang dikeluarkan atas perintah Wijaya tahun 1296 Masehi, dikatakan Krtarajasa Jayawarddhana mempunyai empat isteri, semuanya puteri Krtanagara (sacaturbhrtr-patnika). Mereka adalah Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Prajnaparamita, dan Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Awal kerajaan Majapahit ini ditandai oleh berbagai pembrontakan kepada tiga raja yang berturut-turut  memerintah. Pertama Wijaya setelah mendirikan Majapahit ingin memperluas kerajaannya namun terhalang oleh pembrontakan2 tersebut hingga ia wafat dan digantikan oleh puteranya, Jayanagara (1309-1328).

Jayanagara yang belum berputera ketika wafat kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh ratu Tribhuwanottungadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1350), saudara perempuan Jayanagara. Berbagai pembrontakan ini dapat ditumpas oleh Mpu Mada atau Gajah Mada, seorang bhayangkari muda, dan di hadapan ratu Tribhuwana dan pejabat lainnya Mpu Mada ini mengucapkan  sumpah palapa.

Demikian pula ia melontarkan gagasan politik Nusantara, yaitu akan menundukkan dan menyatukan daerah2 di bawah kekuasaan Majapahit.
Atas jasa2nya membasmi pembrontakan2 tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih di Daha, dan selanjutnya menjadi Mahapatih di Majapahit pada waktu pemerintahan raja Hayam Wuruk, raja keempat Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389.

Pada waktu pemerintahan raja Hayam Wuruk, Majapahit mencapai jaman keemasan, hegemoni Majapahit tetap dipertahankan, meski harus berusaha sendiri selama 25 tahun tanpa didampingi Gajah Mada yang telah meninggal tahun 1364.

Namun ketika Hayam Wuruk wafat tahun 1389, mulailah konflik internal perebutan kekuasaan, yang dimulai oleh Bhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir. Ia telah mendapat daerah di Blambangan yang disebut “kedaton timur” namun kurang puas dan timbul persengketaan antara Bhre Wirabhumi melawan Wikramawarddhana di “kedaton barat”. Perang perebutan tahta ini dikenal sebagai perang paregreg, dengan kekalahan di fihak Bhre Wirabhumi. Selanjutnya, walaupun Bhre Wirabhumi  sudah gugur, peristiwa pertentangan keluarga ini belum reda, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih dendam dan persengketaan keluarga terus menerus, hingga abad XVI.

Berakhirnya kerajaan Majapahit ini masih belum ada kesepakatan.  Menurut tradisi Babad dan kitab-kitab lain, jatuhnya Majapahit oleh raja2 Demak pada sekitar abad XV yang disebut dengan candrasengkala “sirna ilang kertaning bhumi” yang mempunyai arti 1400 Saka (1478 Masehi). Namun ternyata masih ada 4 prasasti Majapahit yang disebut prasasti Jiu atau Trailokyapuri dari tahun 1486 Masehi dengan raja yang berkuasa Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana.

Demikian pula menurut tradisi Babad, raja-raja Majapahit disebut dengan nama Brawijaya I,II, III dan seterusnya, namun gelar-gelar tersebut tidak pernah dijumpai dalam prasasti-prasasti piagam resmi raja, maupun karya sastra Jawa Kuna/Jawa Tengahan. Gelar-gelar tersebut mungkin berasal dari perpaduan gelar kehormatan (honorifix prefix) raja-raja Majapahit yaitu Bhatara yang disingkat Bhra atau Bhre (Bhra + i), dan Wijaya diambil dari nama raja Majapahit pertama yaitu Wijaya.


AGAMA DAN SARANA RITUALNYA

Telah dikemukakan pada awal tulisan ini, raja-raja di Jawa sejak Mpu Sindok, kebanyakan menganut agama Siwa dari aliran Siwasiddhanta.

Raja-raja Majapahit kebanyakan  memeluk agama Siwasiddhanta, kecuali Ratu Tribhuwanottunggadewi, ibu raja Hayam Wuruk, memeluk agama Buddha Mahayana.  Walaupun tidak banyak raja yang memeluk agama Buddha, namun kedua agama tersebut yaitu agama Siwa dan agama Buddha menjadi agama resmi Majapahit.

Untuk mengawasi berbagai aktifitas keagamaan telah diangkat dua pejabat tinggi keagamaan  Saiwa maupun Bauddha. Jabatan tersebut adalah Dharmadhyaksa ring Kasaiwan atau Saiwadhyaksa, dan Dharmadhyaksa ring Kasogatan atau Buddhadhyaksa.

Di samping kedua pejabat tinggi tersebut terdapat  Dewan Peradilan yang lebih rendah kedudukannya dari kedua pejabat tersebut di atas,  anggotanya bergelar “Sang Pamgat” berjumlah 5-7 orang berasal dari kedua agama tersebut. Jumlah anggota menjadi 7 orang terjadi pada waktu pemerintahan Tribhuwana dan secara keseluruhan tujuh pejabat itu disebut Sang Saptopapatti. Dalam kakawin Nagarakrtagama karangan Mpu Prapanca penjelasan tentang para pejabat tersebut adalah: dhyarmadhyaksa kalih lawan sang upapatti sapta dulur. Namun pejabat agama Buddha terakhir kali ditemukan pada prasasti Waringin Pitu tahun 1447 Masehi, sedangkan pejabat  agama Siwa yang rupanya tetap bertahan. Para pejabat keagamaan ini bertugas mengawasi bangunan suci dan aktivitas  pemeluk agama di wilayah Majapahit.
Di samping dua agama besar tersebut di Majapahit masih terdapat beberapa agama lainnya, di antaranya beberapa aliran agama Siwa, yaitu agama Siwa Bhairawa (Bherawa Siwapaksa) yang telah muncul sejak jaman Kadiri. Menurut salah satu prasasti raja Jayabhaya, guru raja Jayabhaya memeluk agama Siwa Bhairawa. Selanjutnya di Majapahit terdapat agama Siwa yang dikembangkan oleh para resi (pertapa), para pemuja Siwa dalam bentuk Lingga, agama Waisnawa yang tidak terlalu banyak penganutnya, dan agama setempat atau agama lokal.  Untuk mengelola agama-agama itu terdapat para agamawan yang disebut berkelompok tiga (tripaksa) yaitu rsi-saiwa-sogata, atau berkelompok empat (caturdwija) yaitu rsi-saiwa-sogata-mahabrahmana.(foto3.)


(foto3).Relief Tripaksa Candi Panataran
Rsi (resi) disini bukan tokoh mitos tetapi para pertapa yang telah meninggalkan keduniawian dan menjalani hidup tahap wanaprastha (:tinggal di hutan). Sementara itu, mahabrahmana adalah pendeta-pendeta yang datang dari India dan menetap di Majapahit. Mereka disebut Brahmaraja, dan ahli dalam agama Siwa, Filsafat Hindu dan Tata Bahasa (Sansekerta).
Kakawin Nagarakrtagama membicarakan pula tempat-tempat suci masa Majapahit, termasuk status jenis-jenis bangunan suci.
Menurut  kakawin itu, ada dua kelompok besar tempat suci, yaitu pertama tempat-tempat suci yang ada di bawah pengawasan langsung pemerintah pusat dan kedua tempat-tempat suci yang berada di luar pengawasan pemerintah pusat. Tempat-tempat suci yang ada di bawah pengawasan pemerintah pusat adalah:
  1. Dharma dalm atau dharma haji, yaitu tempat2 suci untuk kepentingan raja dan keluarganya, terdapat 27 buah termasuk yang didirikan pada masa Singasari. Tidak semua yang disebut kita kenali lagi, mungkin sudah rusak atau namanya sudah berganti.  Bangunan suci yang disebut di antaranya Kagenengan (?), Jajaghu (Jago), Kidal, Jawa-jawa (Jawi), Bhayalango, Simping .
  2. Dharma-lpas, yaitu bangunan untuk para pemeluk agama Siwa, Buddha dan Karesyan, yang didirikan di atas bhudana (tanah yang diwakafkan )
Termasuk kelompok kedua adalah tempat-tempat suci yang ada di luar pengelolaan pemerintah pusat, dan letaknya pun jauh dari pusat kota.

Tempat suci kelompok ini ada beberapa jenis, tetapi yang terpenting adalah Kadewaguruan yang dikenal sebagai Mandala, yaitu pusat pendidikan agama, dipimpin oleh seorang Maharesi (Siddharesi) yang juga disebut sebagai Dewaguru.  Letak Kadewaguruan  antara lain di lereng2 gunung, di tepi pantai, di hutan2.  Salah satu Mandala pernah dikunjungi oleh Hayam Wuruk ketika berkeliling mengunjungi wilayahnya, yaitu Wanasrama Sagara.

Pada masa Majapahit terdapat banyak tempat2 suci, baik dalam bentuk patirthan,    gua-gua pertapaan , maupun  candi-candi.
Salah satu contoh patirthan masa Majapahit adalah  candi Tikus yang terletak di Trowulan.  Kolam berdenah bujur sangkar dengan ukuran 22.50 x 22.50 meter, dengan kedalaman 3.50 meter. Undak2an ada di sebelah utara dan ada dua kolam kecil  di sudut-sudut utara kolam.

Air pengisi kolam, keluar dari pancuran yang ada di dinding kolam, dahulunya berjumlah 46 buah, sekarang tinggal 19 buah, sedangkan saluran untuk pembuangan air ada di dasar kolam.  Pada sisi selatan terdapat lapik (batur) untuk menempatkan miniatur candi, dan beberapa altar, yang dipakai untuk meletakkan sesaji atau dipakai bersemedi, memusatkan fikiran kepada Paramasiwa.

Dalam agama Siwasiddhanta, puja kepada dewa ada dua macam, yaitu bahya puja (puja luar), yaitu puja kepada dewa tertentu yang diwujudkan dalam bentuk arca, yantra atau benda-benda tertentu.

Kedua manasa puja (puja dalam), puja tanpa sarana arca atau benda2 lain. Manasa puja dilakukan oleh mereka yang pengetahuan spiritualnya telah sangat tinggi, misalnya para rsi (pertapa), sehingga candi-candi untuk kaum resi, misalnya candi-candi berundak teras di lereng-lereng gunung tidak diberi arca.

Gua-gua pertapaan terdapat beberapa buah, 9 di antaranya di lereng gunung Penanggungan atau gunung Pawitra. Satu di antaranya ada di dekat bangunan berundak teras Kendali Sada di lereng gunung Penanggungan. Keistimewaan gua ini, di dindingnya diberi  relief Bhima sedang di tengah lautan, yaitu cuplikan cerita Dewaruci.

Pada masa akhir Majapahit, Bhima dianggap sebagai mediator antara manusia dan Siwa, dianggap sebagai penolong manusia yang ingin mencapai moksa. Arca-arcanya banyak ditemukan di lereng2 gunung, di candi-candi milik para resi (pertapa), termasuk candi Sukuh. Mengapa relief Dewaruci yang dipakai untuk menghias dinding pertapaan Kendalisada ?

Cerita Dewaruci disusun pada masa Majapahit, menceritakan Bhima disuruh Durna, gurunya, mencari air amrta (air kehidupan). Di samping usahanya yang berhasil, Bhima berjumpa dengan Dewaruci, yang memberi pengetahuan tentang rahasia hidup, pemahaman tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala apa yang diciptakan (dumadi). Bhima  disuruh masuk tubuh Dewaruci yang tubuhnya sangat kecil melalui telinga kirinya. Semula ia menemukan diri dalam kekosongan tanpa batas dan kehilangan segala orientasi. Namun selanjutnya ia melihat kembali matahari, tanah, gunung dan laut. Ia melihat empat warna kuning, merah, hitam dan putih, serta sebuah boneka dari gading sangat kecil yang melambangkan pramana, prinsip hidup ilahi yang ada di dalam dirinya. Bhima sadar bahwa hakikatnya yang paling dalam telah manunggal dengan Ilahi.  Dengan keberhasilannya  mencapai dimensi realitas hidup yang terdalam, Bhima menjadi lambang keberhasilan dan menjadi tokoh panutan (semacam guru) para resi.

Berdasarkan ciri-ciri arsitektural dan struktural, candi-candi Majapahit ini paling sedikit memiliki dua gaya, yaitu candi-candi dengan gaya Singasari atau gaya Kidal.


(foto4).Candi Pari dekat Porong
Candi-candi ini memiliki 3 bagian candi, beratap tinggi, dan tidak memiliki selasar untuk melakukan pradaksina (mengitari candi dengan mengikuti arah jarum jam). Namun para seniman agama (silpin) masa Majapahit  telah mengembangkan daya kreasinya sehingga menghasilkan ciri-ciri yang khas masa Majapahit, yaitu munculnya sepasang tangga di kiri kanan tangga pintu masuk yang kemudian bertemu  membentuk tangga  tunggal masuk ke dalam candi. Salah satu contoh adalah tangga pada candi Pari  (foto 4).
Candi-candi gaya Majapahit memiliki ciri-ciri yang belum ada pada masa sebelum masa Majapahit, yaitu kaki candi berundak-teras tiga, salah satu atau lebih bagian tubuhnya tidak dijumpai lagi.  Berdasarkan ciri-cirinya  candi gaya Majapahit ini kita kelompokkan menjadi dua:


candi_jago


(foto5b).Tumpang pada relief Candi Jago
  1. Kaki bangunan berundak-teras tiga, dengan dua tangga atau tunggal yang menghubungkan  ketiga teras tersebut.  Dengan adanya penampil untuk tangga yang menjorok ke depan maka tubuh candi  seakan-akan tergeser ke belakang dari titik pusat bangunan.  Tiga buah relung pada dinding tubuh candi untuk menempatkan arca dewa tertentu.  Atap candi tidak ditemukan lagi, mungkin dibuat dari bahan yang mudah rusak dan bentuknya bertingkat seperti bentuk Meru di Bali. Hal ini dikemukakan, karena salah satu relief pada dinding candi Jago, Malang, terdapat relief  candi dengan atap tumpang tujuh atau sembilan. Di samping candi Jago, termasuk kelompok ini adalah candi Rimbi dekat Jombang, candi induk Panataran dekat Blitar.(foto5 a & b.)

Tempat Suci Masa Majapahit II



(foto 6). Candi Yudo, gunung Penangungan
Bangunan dengan kaki berundak teras tiga, dengan kadang-kadang diberi penguat di bawahnya, tidak memiliki tubuh candi. Sebagai ganti tubuh, di atas teras teratas terdapat 1-3 altar, atau 2 altar dan satu miniatur candi, tanpa arca. Tepat di tengah-tengah teras terdapat tangga naik tunggal menuju altar di teras teratas. Candi jenis kedua ini terletak di lereng gunung, seringkali nampak “menempel” di lereng tersebut.(foto 6.)
Misalnya candi-candi di lereng gunung Penanggungan yang disebut gunung Pawitra dalam Nagarakrtagama.


(foto 7). Candi Kotes
Di samping bangunan dengan kaki berundak teras, terdapat beberapa candi yang tidak bisa dimasukkan ke dalam dua kelompok di atas, karena kaki candi hanya berbentuk seperti  lapik (alas) dengan atau tanpa tubuh candi , misalnya candi Tegawangi dekat Pare, dengan dua altar dan satu miniatur candi misalnya candi Kotes (foto 7).
Namun ada candi yang mempunyai bentuk tersendiri, misalnya candi Sukuh yang berbentuk mirip yoni, candi Naga di kompleks Panataran berbentuk ruangan tanpa atap.

Tidak hanya struktur candi yang berbeda dari masa sebelumnya, juga berbagai tokoh dimunculkan pada waktu ini.  Misalnya tokoh Punakawan dan Emban di beberapa dinding candi, antara lain di candi Tegawangi.

Jika ditilik cara penggambarannya, menurut Edi Sedyawati, pada umumnya mempunyai ciri yang dekat dengan wayang kulit.  Ciri ini terlihat  pada penggambaran kedua kaki tokoh yang sama sekali miring ke satu arah, dada menghadap ke depan (ke pengamat), dan wajahnya miring atau ¾ miring.  Apabila tokoh dihadapkan ke kiri, upawita-nya (tanda tali kasta) melalui bahu kiri, tetapi apabila di hadapkan ke kanan berubah melalui bahu kanannya, sesuai wayang kulit jika diubah-ubah oleh sang dalang.

Di samping itu, relief pada jaman Majapahit mempunyai peranan penting terkait dengan fungsi candi. Ragam  hias  candi ada dua jenis, yaitu ragam hias  pelengkap bangunan dan ragam hias penghias bangunan. Ragam hias pelengkap bangunan terkait dengan keseimbangan struktur candi, sedangkan ragam hias bangunan pada umumnya berupa relief cerita yang diambil dari karya sastra Jawa Kuna maupun Jawa Tengahan.

Cerita yang dipahat biasanya terkait dengan fungsi bangunan suci tersebut. Sebagai contoh relief cerita yang bertemakan kalepasan (moksa) dipahat di dinding candi-candi yang berfungsi sebagai  pendharmaan (tempat di dharmakan)  raja yang wafat, dengan tujuan agar arwah raja cepat mencapai moksa. Misalnya cerita Sudamala yang dipahat di dinding candi Tegawangi pendharmaan raja Matahun, paman Hayam Wuruk.


(foto 8). Durga Ramini, relief Sudamala, candi Tegawangi
Cerita Sudamala berintikan cerita penebusan dosa (lukat, ruwat) Durga Ranini yang merupakan bentuk kutukan Uma oleh Bhatara Guru karena selingkuh dengan dewa Brahma.  Setelah  12 tahun  tinggal di kuburan Setra Gandamayu, Durga Ranini di ruwat oleh Sadewa dan Bhatara Guru, sehingga dosanya hilang dan menjadi Uma yang cantik kembali.(foto 8.)
Di kompleks candi Sukuh terdapat cerita Bhimaswarga, cerita tentang Bhima mencari air amrta ke sorga  Siwa untuk arwah Pandu dan Madrim. Setelah berperang melawan bala tentara Yama, Bhima berhasil diberi air amrta oleh Siwa. Oleh karenanya di candi Sukuh Bhima dianggap sebagai mediator antara manusia dan Siwa bagi mereka yang ingin mencapai moksa (foto 9).


(foto 9). Bhima dihadapan Bhatara Guru, kompleks Sukuh
Majapahit menjadi pusat percampuran budaya India dan budaya lokal. Banyak mitos tentang dewa-dewi  yang tidak pernah terdengar di India sendiri, dijumpai di Jawa.

Orang Majapahit dengan sadar menciptakan dewa-dewi baru dan dalam karya sastra bernama Tantu Panggelaran secara implisit disebut perubahan terjadi, karena “dewa-dewi Jambhudwipa (India) telah menjadi dewa-dewi Jawa” karena puncak gunung Mahameru telah dipindah ke pulau Jawa.

Hal ini mengakibatkan muncul budaya Majapahit yang sangat unik.  Misalnya candi-candi berstruktur berundak-teras tiruan Mahameru muncul di mana-mana, antara lain  candi Jago, candi Rimbi, candi induk Panataran, candi-candi para resi di lereng-lereng gunung. Demikian pula relief rasaksi Durga Ranini yang bertaring, berambut gimbal, mata melotot, tinggal di kuburan, terdapat di relief candi Tegawangi dan candi Sukuh. Cerita Uma selingkuh sangat mengherankan, karena di India, Uma dianggap sebagai panutan isteri yang setia.
Bagaimana dengan fungsi candi-candi masa Klasik Muda?  Fungsi  candi-candi sebelum masa  Singasari belum diperoleh, maka fungsi candi masa Singasari dan Majapahit yang akan dibicarakan disini. Melihat fungsinya, candi-candi masa  Singasari dan Majapahit  kita kelompokkan menjadi dua:
  • Candi-candi yang mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai kuil pemujaan dewa, dan sebagai pendharmaan raja dan keluarganya. Kata pendharmaan berasal dari kata “dharma” yang berarti “kewajiban” dalam agama Hindu.
Dharma seorang  raja adalah mendirikan  sebuah bangunan suci, dan memperbaiki bangunan suci yang telah rusak. Setelah mendirikan bangunan suci dan raja tersebut wafat, maka dibuatkan arca berwujud dewa pelindungnya (istadewata), dan arca perwujudan tersebut diletakkan di dalam ruang utama (garbhagrha) candi yang telah disiapkan (didirikan) oleh raja yang wafat, sebagai dharma raja tersebut. Dewa pelindung (istadewata) bisa  dewa tertinggi atau dewa-dewa tertentu pilihan seseorang. Raja-raja Singasari dan Majapahit seringkali diwujudkan sebagai arca Siwa dan sekaligus arca Buddha, karena bukankah dua dewa  tersebut adalah wujud dari yang satu yaitu Hakekat Tertinggi ?

Dalam karya sastra Jawa Kuna, moksa disebut sebagai mantuk atau mulih ing dewapada (pulang ke kaki dewa). Dengan dibuatnya arca perwujudannya dalam wujud Siwa dan Buddha, berarti arwah raja tersebut telah menyatu dengan dewa pelindungnya, telah mencapai  moksa.


(foto 10). Arca perwujudan Ratu Tribhuana, candi Rimbi dalam bentuk dewi Parwati
Candi pendharmaan pada masa  Singasari adalah candi Kidal, pendharmaan raja Anusapati, candi Jago, pendharmaan raja Wisniwarddhana, dan mungkin pula candi Singasari pendharmaan raja Krtanagara. Adapun  candi berfungsi ganda pada masa Majapahit mempunyai struktur yang  khas, yaitu kaki candi berteras tiga dan ada ruang utama (garbhagrha) pada tubuh candi untuk menempatkan arca perwujudan. Contoh adalah candi Jago dekat Tumpang, Malang, dan candi Rimbi dekat Jombang (foto 10.)
Perkecualian terdapat pada candi induk Panataran, walaupun memiliki tubuh candi dengan garbhagrha, namun tidak untuk menempatkan arca perwujudan raja tertentu, karena candi Panataran adalah candi Kerajaan bukan candi pendharmaan.  Hingga sekarang belum diketahui arca utama candi itu.
  • Candi-candi kelompok kedua ini hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan.  Termasuk kelompok ini adalah candi-candi milik para rsi, yang kebanyakan ada di lereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Penanggungan, gunung Arjuna, gunung Wilis, gunung Lawu, termasuk candi Sukuh, merupakan candi para resi  yang dipakai untuk upacara penyucian diri agar bisa segera mencapai kalepasan (moksa).
Telah dikemukakan di atas, di candi Sukuh ini Paramasiwa sebagai dewa yang dipuja, namun Bhima dianggap sebagai mediator antara manusia dan Siwa, yang menolong manusia untuk mencapai  moksa, oleh karenanya dianggap tokoh penting. Arca Bhima dahulu pernah ditemukan, tetapi diletakkan di samping candi induk Sukuh, sedangkan yang di atas candi induk adalah sebuah lingga besar yang sekarang disimpan di museum Nasional Jakarta. 

Asal Usul Manusia

Kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari didunia ini adalah : Dimana-mana ada manusia, kita sendiri juga mahluk manusia yang tinggal disebuah tempat dari belahan bumi.

Sejak kecil kita bergaul dengan ibu, ayah, kakak, adik, nenek, kakek, saudara, tetangga, teman, yang semuanya mahluk manusia.
Kemanapun kita berada, pergi dan berurusan, tentu berhubungan dengan bangsa kita sendiri, yaitu sama-sama bangsa  manusia.

Sebagai orang yang punya perasaan instinktif dan pikirannya selalu jalan, hati kecilnya tentu bertanya : Didunia ini ada begitu banyak manusia yang menjalani kehidupan diberbagai tempat, dikota, didesa, dibeberapa benua, negara, didaerah tropis maupun dipinggir kutub, ada pemukiman manusia.

Perjalanan waktu dan sejarah telah menunjukkan perkembangan manusia, sejak masa primitif sampai era modern ini.Kehidupan telah menunjukkan bahwa mahluk manusia dan mahluk-mahluk lain yang berbadan fisik seperti bermacam hewan, berkembang dan beranak pinak melalui perantaraan induk yang dibuahi pejantannya.

Pada manusia, dengan bunga-bunga kalimat sastra, dikisahkan melalui paduan kasih seorang wanita dan pria terkasihnya, istri dengan suami, terlahirlah buah cinta yang disebut bayi.


Perkembangan nama manusia

Pada zaman dahulu kala , manusia berkomunikasi antar sesama melalui perasaan dan pikiran ,istilah asingnya : through their mind. Pada masa mula-mula manusia dibumi, perasaan dan pikiran ( mind) para nenek moyang bangsa manusia sangatlah peka, tajam sekali. Dengan melalui rasa dan pikiran dan saling melihat saja, mereka bisa saling mengerti.Memang, dizaman mula tersebut, kekuatan telepati manusia tajam sekali. Ini juga satu anugerah dari alam, dari Gusti.


Lece

Kemudian, mulai muncul bahasa isyarat, lalu secara bertahap, suara yang keluar dari mulut semakin teratur dan lama-lama bisa dikendalikan sehingga sinkron dengan kehendak yang dikendalikan otak.

Menurut Kejawen, mahluk manusia dimasa itu disebut : Lece, dimana komunikasi masih dengan bahasa isyarat dan lengkingan-lengkingan suara yang belum teratur.


Mudita

Mudita adalah sebutan untuk orang, ketika orang sudah bisa menyebutkan nama barang-barang yang ada didunia ini dan selanjutnya muncul kata-kata sifat.
Kata-kata yang mulai dipakai adalah benda-benda yang ada disekitarnya, seperti : aku, kamu, nama-nama makanan seperti juwawut, padi; nama-nama buah-buahan, nama-nama binatang seperti ikan, burung, kambing, sapi dsb. Lalu dikenal nama-nama benda alam seperti : tanah, bumi, matahari, langit, air, api, bulan, bintang, angin dsb. Sesudah itu kata-kata yang berhubungan dengan rasa seperti : panas, dingin, terang, gelap, enak, sakit, manis, pahit, kecut, asin dsb.

Jadi sejak ada Mudita, bahasa mulai berkembang. Rupanya, mudita telah diberi kuasa oleh Sang Pencipta, Tuhan, untuk memberi nama semua hal yang ada dialam ini. Orang-orang tua kita berkata, kalau tidak ada mudita , tak ada kata-kata dan bahasa: Kabeh ora kocap – Segala hal tak terucapkan.


Manusia

Pada perkembangan lebih lanjut, mudita disebut manusia, yaitu mahluk yang punya malu.
Manusia dari manuswa. Manu artinya malu dan swa artinya hewan. Seseorang yang tidak punya rasa malu dikatakan berwatak seperti hewan.
Rupanya peradaban mulai meningkat, manusia punya malu, tidak seperti hewan.


Wong, Wahong

Menurut pemahaman Kejawen, ketika orang sudah disebut manusia, budaya dan peradaban berkembang lebih cepat.

Ada orang-orang tua bijak yang tajam dan bening rasa hatinya. Melalui mereka, manusia menerima pembelajaran kembali tentang esensi kehidupan.

Manusia, semua mahluk, tetumbuhan, benda dibumi, tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari alam, karena merupakan bagian alam.Untuk itu, sejak dulu manusia sadar untuk harus melestarikan, menjaga , merawat alam ini sebaik-baiknya, karena tanpa alam tidak ada eksistensi manusia dibumi ini. Kalau bumi dan alam rusak, hidup dan eksistensi manusia terancam. Ini sebenarnya adalah sebuah pemahaman klasik!

Alam raya beserta segala isinya termasuk manusia berada dalam keadaan seperti ini, setelah melalui proses yang teramat panjang. Keberadaan alam beserta isinya termasuk umat manusia karena dikehendaki dan dicipta oleh Sang Pencipta Alam, yang dalam perkembangannya dipuja dengan asma:  Gusti, Pangeran, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Welas Asih ( dan tentu nama-nama Tuhan dalam berbagai agama dan bahasa).

Menurut pemahaman Kejawen, manusia sebelum terlahir didunia ini dengan perantaraan ibu dan bapak, adalah suksma, spirit yang berada dialam asal muasal dibawah kuasa langsung Gusti.

Jadi, manusia adalah suksma, spirit yang memakai pakaian raga fisik dan raga halus untuk menjalani kehidupan didunia ini.Dewa -dewi adalah juga mahluk ciptaan Tuhan yang berujud spirit,  yang esensinya adalah cahaya, sama dengan esensi suksma. Oleh karena itu, pinisepuh Kejawen menyebut orang : Wahong, artinya anak keturunan atau berasal dari dewa.Dalam perkembangan bahasa, kata wahong berubah menjadi wong, artinya orang.Lalu kita sering mendengar ungkapan : wong Jawa, wong Sunda, wong Indonesia, wong Asia, wong Amerika dsb.
Banner2

Tiyang, Ti Hyang

Dalam bahasa Jawa krama inggil, bahasa halus, wong adalah tiyang dari kata Ti Hyang, berasal dari dewa, spirit.
Dalam kehidupan ini, sangat sedikit orang yang menyadari bahwa dia itu sebenarnya adalah suksma/roh yang berpakaian badan kasar dan badan halus. Padahal ini adalah pemahaman kunci bagi Kejawen dan spiritualitas universal.


Kenalilah dirimu yang sejati

Pada umumnya ,dikarenakan pengaruh kuat dari keperluan materi dan duniawi dalam kehidupan ini, banyak orang yang lupa kehidupan sejati, tidak tahu asal muasalnya dan esensi hidupnya.

Yang hidup adalah suksma/roh yang berada dibadan orang. Kalau suksma/roh kembali ke asal muasal karena berbagai alasan, maka orang itu mati. Sedangkan suksma tetap hidup dan kembali pulang ketempat asal muasal dialam kelanggengan, ada yang memberi istilah : kembali ke haribaan Tuhan.
Tuhan juga tak berwujud fisik, Beliau adalah Sang Pencipta, Sang Suksma Agung.

Yang bisa berkomunikasi dengan cara terhalus dengan Gusti, Sang Suksma Agung, adalah suksma yang berada diraga manusia. Oleh karena itu, seorang manusia seharusnya mengenali diri sejatinya, pribadi sejatinya , yang adalah suksma.

Itulah sebabnya kenapa para spiritualis, orang-orang bijak sering berkata : “ Kenalilah dirimu sendiri”, istilah asingnya “ Know thyself”.
Orang akan memahami dan mengalami kehidupan didunia dengan tentram bahagia ( dan tidak larut arus kehidupan yang tidak baik dengan berebut harta, kekuasaan dan berbagai macam akal-akalan yang tidak baik); sesudah dia bisa akrab dengan suksma-nya, yang adalah diri sejatinya, Sang Pribadi, istilah asingnya Higher Self.

Itulah yang dikatakan orang yang telah mendapatkan pencerahan secara spiritual, telah akrab dengan Sang Suksma, Pribadi Sejati, Higher Self, selalu akan sadar akan misi hidupnya dari Gusti, Tuhan, Sang Suksma Agung.
Hidupnya didunia pasti membawa misi yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia dan jagat ini.


Kenapa suksma berada didunia?

Ini pertanyaan yang menggelitik, yang sejak dulu tidak henti-hentinya dilontarkan.
Suksma mendapat kesempatan dari Tuhan untuk berkiprah didunia dan menjalankan suatu misi, suatu tugas yang mesti dilaksanakan sebaik-baiknya sampai tuntas.

Ungkapan yang lebih lugas menyatakan : Suksma harus sekolah didunia.

Sayangnya, Sang Suksma ketika sudah sampai dibumi dan berujud manusia, menemui banyak hambatan dan goda dalam menjalankan misinya. Hubungan sang suksma dengan kendaraan yang dipakainya, manusia dengan egonya, tidak sinkron. Ini disebabkan si manusia terlalu didominasi oleh elemen-elemen duniawi , maunya hanya memenuhi keinginan materi dan duniawi yang penuh nafsu, meninggalkan esensi spiritualnya. 

Menyiasati hal ini, pinisepuh Kejawen tidak bosan-bosannya mengingatkan : Eling lan waspada- Sadar dan waspadalah, siapa dirimu sebenarnya dan apa tugas sejatimu didunia.


Hidup bagai roda berputar.

Ajaran Timur termasuk Kejawen mempercayai bahwa kehidupan seseorang itu seperti roda yang berputar, istilah kebatinannya : Cakra manggilingan.
Artinya, satu saat suksma turun menetap sementara didunia, pada saat lain dia berada dialam suksma, lalu dapat tugas lagi dibumi dan seterusnya ,selalu berputar.

Jadi, spiritualitas Timur percaya kepada adanya inkarnasi dan reinkarnasi.

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah hidup bagai roda, cakra manggilingan diartikan : Jalan hidup seseorang ,satu ketika bisa susah, lain kali mengalami masa jaya, makmur.

Perjalanan suksma, berasal dari mula-mula, kemudian dapat tugas dari Tuhan untuk tinggal dibumi, lalu kembali lagi ke alam mula-mula alamnya suksma, itu merupakan perjalanan yang benar.

Karena ada banyak suksma, sesudah orangnya meninggal, tidak mulus kembali kealam mula-mula. Dia nyasar pulangnya, karena telah membuat kesalahan fatal ketika berada didunia. Dia telah berbuat/membiarkan terjadinya perbuatan yang tidak baik dan melakukan dosa.
Mengenai hal ini, akan kita kupas kemudian.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dan jelas, kita akan membicarakan tentang terjadinya jagat raya dan bumi ini, tempat mahluk manusia bertempat tinggal.

Terjadinya Jagat Raya

Budaya Kejawen menamakan jagat ini adalah Jagad Paramudita, seperti yang sering diucapkan para dalang wayang kulit.Artinya jagat yang dihuni oleh para mudita, oleh manusia wanita dan pria, mahluk paling penting didunia ini.

Jagat Raya seisinya termasuk manusia yang mendiami bumi ini, tercipta atas kuasa Tuhan, Sang Pencipta Alam. Keberadaan manusia dibumi, setelah iklim dan kondisinya kondusif, siap untuk dijadikan rumah tinggal yang nyaman, lengkap dengan segala faktor pendukungnya.

Pada era mudita, orang mulai memberikan nama-nama pada semua benda dan hal, lahirlah bahasa tutur didunia. Oleh karena itu mudita dihormati oleh anak keturunannya.


Asalnya ramai dari sepi

Kehidupan bumi yang dihuni para mudita berkembang secara pasti. Tentu pada saat itu, para mudita memilih menghuni tempat-tempat yang aman dan tanahnya subur. Jumlah mudita dengan beragam warna kulit, budaya dan bahasa, semakin bertambah, sehingga bumi menjadi lebih ramai. Timbullah ungkapan : Witing rame saka sepi, witing gumelar saka sonya, artinya : Asal ramai dari sepi,jagat tergelar asalnya dari kosong.

Kita akan mengungkap kelahiran dan perkembangan jagat ini dimulai dari Alam Sonya Ruri, sebelum jagat ini tergelar.Pengungkapan dari sudut pandang Kebatinan Jawa, dari sudut pengetahuan spiritual- spiritual knowledge, yang istilah lokalnya adalah elmu atau ngelmu

Para pakar dunia, menjelaskan proses terjadinya alam raya dari sudut science – ilmu pengetahuan, secara ilmiah.

Perlu digaris bawahi bahwa Kejawen tidak anti kepada ilmu dan perkembangannya yang berguna bagi umat manusia; tetapi untuk kehidupan yang lebih baik, komplit dan benar, lahir batin, diperlukan ilmu dan ngelmu.

Kita luangkan sedikit waktu untuk memahami difinisi tentang Ilmu dan Ngelmu dalam kotak dibawah ini.


Ilmu dan Ngelmu
Ilmu    - Science adalah hasil pikiran manusia, yang semakin lama semakin maju, produknya semakin canggih sebagai hasil pemikiran/penemuan para ahli pikir bidang ilmu pengetahuan.

Ngelmu- Satu pengetahuan yang berhubungan dengan purbawasesa – Kuasa dari Tuhan, yang oleh kebanyakan orang disebut gaib.Ngelmu itu dari dulu sudah ada secara utuh dan sepenuhnya dalam kuasa Gusti. Dibukanya sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemajuan kesadaran dan kebutuhan manusia pada suatu saat.

Penjelasan dan penyebaran – babaran lan wedaran, atas kehendak Gusti, melalui orang-orang yang ditunjuk Nya, karena sudah mumpuni pengetahuan dan kesadaran spiritualnya.

Sehingga, semakin lama, ngelmu semakin terbuka – saya binuko lan ngeblak.


Catatan :
Mengenai cara pengajaran dan penyebaran kebatinan Kejawen, pada saat ini sudah jauh lebih terbuka, lebih praktis.

Zaman dulu, ngelmu Kejawen benar-benar sinengker, dianggap rahasia, terkesan tertutup. Hanya kepada yang benar-benar percaya dan belajar sungguh-sungguh dan menghayati, seorang Guru akan memberi tuntunan.

Polisi kolonial Belanda waktu itu mengawasi dengan ketat kelompok-kelompok Kejawen, karena dikhawatirkan menyebarkan ramalan Jayabaya, yang a.l. menyatakan bahwa kolonialis Belanda akan dikalahkan oleh “jago wiring kuning” dari utara, bangsa berkulit kuning dari utara ( ternyata Jepang), yang akan menduduki Nusantara selama “seumur jagung”, dalam kurun waktu pendek ( ternyata 3,5 tahun). Dan bangsa Indonesia akan hidup makmur sejahtera bila diperintah oleh bangsa sendiri, artinya Indonesia merdeka..   Kolonialis Belanda juga melarang orang bertapa karena takut kalau orang tersebut mencari wahyu kemerdekaan.

Banyak terminologi atau kata-kata yang diperlakukan sakral, tidak boleh diucapkan, tabu atau ora ilok, kini telah boleh diucapkan.
Misalnya,  pada waktu belajar kebatinan tidak boleh mengucapkan kata jantung. Kalau mau menyebut jantung, harus bilang : kembang gedhang atau sekar pisang, bunga pisang. Sekarang sudah boleh mengucapkan jantung.

Kata samadi juga tidak boleh diucapkan. Kalau mau bilang samadi harus diganti dengan ungkapan :
Anggoleki tapake kuntul nglayang   - mencari telapak kaki bangau terbang. Mana dapat.
Anggoleki galihing kangkung          - mencari hati kangkung. Apa ada?
Nutupi babahan hawa sanga          - menutup sembilan lobang hawa ditubuh.Tentu sulit.

Kalimat-kalimat yang berbunga-bunga yang mungkin sesuai pada waktu itu, sekarang termasuk “njlimet”-berputar-putar dan sulit dipahami, tidak dipakai lagi.

Penjelasan tentang samadi, termasuk cara, metode dan tujuannya, sudah jauh lebih terbuka.

Cara mengajarkan ngelmu Kejawen juga sudah berubah sesuai perkembangan zaman.

Dulu ,Kejawen diajarkan sangat tertutup, dengan peserta sangat terbatas dan hanya diajarkan pada malam hari, dihari tertentu, misalnya pada Kamis malam Jum’at.

Tempatnya juga harus diluar rumah, dibawah atap langit, dipinggir laut, sungai, sawah, kebun atau pelataran rumah. Sekarang sudah diajarkan didalam rumah, boleh siang hari.

Literatur Kejawen banyak yang ditulis, dicetak sebagai buku, dimuat dikoran dan majalah, bahkan ada di internet.

Dimasa kuno, pembelajaran hanya secara lisan, mantra-mantra tak boleh ditulis, semua harus hafal diluar kepala.

Sekarang sudah terbuka, meski masih ada yang sinengker- dirahasiakan.

Para pakar kebatinan Jawa mengatakan bahwa semua ngelmu kebatinan Jawa boleh diketahui oleh peminatnya sesuai dengan tingkat kesadaran spiritual masing-masing individu, kecuali yang masih menjadi sengkeraning bawono – rahasia jagat.

Penulis yang akrab dengan budaya Jawa dan senang mempelajari budaya-budaya yang lain, mengikuti paugeran- ketentuan ini. Apa yang penulis paparkan adalah ajaran luhur dan sudah dapat palilah, restu dari pinisepuh Kejawen, maupun dari Pribadi Sejati- Higher Self, baik secara nyata maupun melalui wisik sejati- pemberitahuan yang sebenarnya, ditataran ngelmu sejat, dijalan yang diberkahi Gusti.


Alam Sonya Ruri


Sekian juta tahun yang lalu, ketika alam belum ada, bumi belum ada, tidak ada apa-apa sama sekali, suasana gelap gulita, suara tidak ada, disebut Alam Sonya Ruri, artinya tempat tanpa batas, tanpa tepi dan sonya artinya kosong, sepi ( bahasa Jawa : suwung) dan ruri artinya gelap gulita ( bahasa Jawa : peteng ndhedhet).

Alam Sonya Ruri adalah tempat tanpa batas, yang keadaannya kosong tanpa suara dan gelap gulita.

Gambarannya : alam merupakan wadah; isinya : kosong dan gelap gulita.

Kemudian, tidak disebut kapan mulainya, alam sonya ruri mulai bergerak, berputar dan berputar terus dengan cepat. Perputaran itu menimbulkan daya panas, mulai muncul lingkaran ( bahasa Jawa : kalangan), yang semakin lama semakin besar.

Sesudah berputar terus menerus dan cukup lama ( bahasa Jawa : mubeng seser), terjadilah ledakan ( bahasa Jawa : mbledhos), sehingga alam semesta menjadi terang dan mulai terbentuk dan terlihat wujud benda-benda dialam raya : langit dan planet-planet seperti matahari dan bintang-bintang.

Teori  ilmiah menyatakan bahwa Jagat Raya ada sejak 15.000. juta tahun yang lalu, dimulai dengan Big Bang, ledakan awan lemparan gas panas dan debu diangkasa, lalu ada gravitasi yang menyebabkan terbentuknya planet-planet.

Sampai kini ilmu dan ngelmu sependapat bahwa jagat raya terus mengalami proses perkembangan yang tak pernah berhenti.

Mengenai teori ilmiah mengenai terbentuknya jagat raya, Ilmu Pengetahuan yang terlahir dari kejeniusan pikiran manusia, tidak bisa meng-claim sebagai kebenaran, paling-paling mendekati kebenaran.

Jagat Raya dicipta oleh Gusti, Tuhan Yang Maha Kuasa, supaya manusia selalu belajar dan tidak pernah berhenti belajar dan supaya berkiprah positif konstruktif demi kelestarian jagat beserta seluruh isinya termasuk umat manusia


Sang Penguasa Alam menitahkan terang

Dalam istilah Kejawennya adalah : Kang Murbeng Alam nitahake pepadhang.

Cahaya terang benderang dialam raya timbul karena perputaran benda-benda dilangit dan bintang-bintang. Cahaya datang dari benda-benda dilangit yang jumlahnya sakirno dalam istilah Jawa, artinya sejuta juta juta, begitu banyak tak terhitung jumlahnya.

Matahari, sesuai dengan kekuasaan alam, atas kehendak Tuhan menerangi jagat termasuk bumi dan punya kewajiban untuk memberi kehidupan kepada semua mahluk.

Rembulan dan semua bintang dilangit ,pada waktu malam hari menyinarkan cahaya yang lembut, sejuk ,yang berguna untuk setiap mahluk.
Konstelasi matahari, rembulan, planet-planet dan bintang-bintang terhadap bumi, mempengaruhi iklim dan kehidupan manusia dibumi.


Terbentuknya Bumi

Ketika planet-planet dan bintang-bintang angkasa sudah ada, bumi belum ada. Baru sesudahnya, ketika saling benturan dan saling pengaruh planet-planet dan bintang-bintang berjalan cukup lama diangkasa raya, terbentuklah sebuah bintang berukuran menengah menjadi pusat alam, yang disebut Pratala, artinya dasarnya samudra.

Terbentuk dulu laut, samudra yang disebut Sagara, karena terus menerus diisi air dari hasil gerakan terus menerus benda-benda dialam raya.

Sesudah terbentuk sagara, bumi mulai terbentuk setelah melalui proses alami dan penyempurnaan bentuk, sehingga disebut Bantala atau Bumi.

Proses pembentukan bumi secara pemahaman ilmiah dimulai 4000 juta tahun yang lalu, dilukiskan dengan letusan-letusan gunung berapi yang memuntahkan lava merah menyala. Bumi yang terdiri dari lempengan-lempengan dan samudra-samudra besar, melalui proses jutaan tahun sehingga terwujud bentuk yang seperti saat ini.


Elemen-elemen bumi

Sejak awal terbentuknya jagat, melibatkan unsur-unsur angin, cahaya, api, debu dan air, yang dengan saling interaksi, gerakan dan benturan-benturan melahirkan planet-planet, bintang-bintang dan planet bumi yang kelak didiami manusia.Seperti diketahui elemen-elemen  manusia juga terdiri dari : angin, banyu , geni lan lebu menurut Kejawen, yaitu angin, air, api dan tanah. Sedangkan unsur cahaya, mengingatkan dari mana asalnya suksma yang berupa cahaya.

Pada mulanya, keadaan dibumi belum mendukung adanya kehidupan karena  udara yang belum cocok. Baru sesudah udara dan keadaannya kondusif, manusia dan mahluk-mahluk lain bisa hidup dibumi, yaitu dilapisan atmosfir yang berada ditanah sampai dengan ketinggian 17 km.


Adanya makanan

Manusia dan mahluk-mahluk yang lain butuh makanan untuk hidup dibumi. Salah satu elemen manusia adalah air. Terbukti seorang manusia yang sehat pada usia produktif, 80% komponen badan fisiknya adalah air. 2/3 ( dua pertiga) dari permukaan bumi ditutup oleh lautan; 1/10 ( sepersepuluh) permukaan bumi ditutup sungai es.

Sejak mula terbentuknya bumi, air mengucur kebumi, air dimasa mula itu dinamakan Kamandanu, sesudah jatuh kebumi dan kebanyakan berkumpul dilaut, disebut Padmasari, artinya sari makanan.

Oleh karena itu sel-sel kehidupan yang teramat sederhana dimulai dilaut, karena disana ada sari makanan.

Jagat Raya adalah bersatunya unsur-unsur Pratala/Sagara, Padmasari/sari makanan dan Bantala/bumi, yang terus berproses dan saling mempengaruhi dengan benda-benda dialam semesta, sehingga datang saatnya manusia dan mahluk-mahluk lain serta berbagai tetumbuhan mendapatkan tempat yang nyaman dibumi untuk dihuni.


Kandungan bumi


Ini yang disebut kekayaan alam, benda-benda yang terpendam didalam bumi ( termasuk yang dibawah laut), dimana manusia tinggal menggali atau menambangnya untuk memfasilitasi kebutuhan hidupnya.

Selain tanaman pangan, herbal untuk obat dan tanaman industri, berbagai bahan tambang didarmakan oleh bumi kepada manusia. Betapa baiknya Ibu Bumi, Mother Earth kepada manusia.

Kalau mau jujur, manusia modern seharusnya merasa berhutang budi kepada mahluk-mahluk dan tetumbuhan dimasa purba, berhutang budi kepada alam dan tentunya kepada Tuhan.

Hanya sedikit orang yang mengingat kepada jasa fosil-fosil binatang laut dan pohon-pohon raksasa yang sejak 300 juta tahun lalu “ mengorbankan diri’ untuk dijadikan sumber enerji berupa minyak bumi, gas dan batubara.
Padahal produk-produk ini, diburu, diperebutkan dan dimanfaatkan untuk mengabdi kepada manusia modern.
Selain itu didalam bumi antara lain masih terdapat berbagai batu, mineral, pasir, kapur  dan lain-lain yang menunjang kesejahteraan manusia. Masih ada lagi berbagai logam seperti ; emas, perak, tembaga, perunggu, besi, aluminium, timah dsb.

Selain itu ada rumpun batu mulia dengan berbagai macam faedah dari harga yang sangat mahal sampai yang murah, seperti : berlian, quartz, ametis, turqoise, safir, emerald, jade, turmalin, citrin, amber, ruby,tiger’s eye, obsidian, agate/ bermacam-macam batu akik dalam berbagai warna yang indah dan menarik seperti putih, ungu, biru, hijau, merah muda, kuning, jingga, merah, coklat dan hitam.

Khusus mengenai logam dan batu mulia/gemstones/precious stones ada banyak peminatnya, karena bisa dicipta menjadi perhiasan dan asesories yang menawan.

Berbagai logam dipakai untuk membuat keris, berbagai batu mulia selain dibuat perhiasan yang cantik seperti gelang, kalung, cincin, subang dll, juga
digemari oleh orang-orang yang mengerti dengan memanfaatkan daya alami batu-batu mulia tersebut.

Batu mulia memiliki daya alami, enerji yang bisa dimanfaatkan untuk membantu pemakainya.

Enerji yang dipunyai batu mulia, bisa membantu dalam bidang keselamatan, kesehatan, karier, kesejahteraan dll.

Perhiasan dari gemstones termasuk berlian, safir, topaz, emerald, jade dan lain-lain, hanya bersifat perhiasan/asesories yang indah tetapi tidak memfungsikan daya alaminya untuk membantu pemakai, selama daya alami/enerjinya tidak dibangkitkan. Jadi perhiasan dengan batu mulia itu hanyalah “ sleeping beauty”.sekedar menampilkan keindahan.

Supaya enerji batu mulia berfungsi, bekerja dengan membantu atau melindungi pemilik/pemakainya; batu mulia tersebut harus dibangkitkan enerjinya ,istilahnya “diprogram” sesuai dengan fungsi alaminya.
Batu-batu itu, tidak “diisi” dengan menempatkan mahluk halus/qodam ( meskipun bisa), tetapi hanya dibangkitkan daya alaminya, supaya tidak tidur.

Untuk itu diperlukan bantuan “programmer” yang mumpuni, yang akrab dengan esensi batu-batu mulia dan itu akan terjadi dengan berkah Tuhan .


403

Me2everyone
memiliki konsep untuk menawarkan kepada rekan-rekan

No comments: