Friday, March 23, 2012

Review Movie

Amazing Actress – Natalie Portman

Natalie Portman: ” But we have to remember that almost all films are written and directed by men. Female characters are women imagined by men, so it’s always this classic figure of a sexy woman with a childish innocence “
29 tahun lalu, tepatnya 9 Juni 1981, kota Yerusalem, Israel menjadi saksi bisu kelahiran seorang bayi mungil bernama Natalie Hershlag, putri dari pasangan Dokter Avner dan artis Shelley Hershlag.  Keduanya mungkin tidak pernah menyangka bahwa putri mereka satu-satunya itu akan tumbuh menjadi salah satu artis tercantik dengan talenta luar biasa yang pernah di miliki Hollywood. Ya, gadis kecil itu kini tumbuh menjadi seorang Natalie Portman, The Swan Queen.
Sejak usianya masih 3 tahun Natalie kecil bersama ibunya sudah hijrah ke Amerika Serikat dalam rangka mendukung karier sang ayah sebagai dokter. Hingga umurnya 11 tahun kehidupan Natalie kecil sepertinya tidak jauh berbeda dengan anak-anak sebanyanya. Ia bersekolah seperti kebanyakan anak lainnya hingga kemudian lulus SMU pada tahun 1999. Bagi Natalie pendidikan adalah segalanya, bahkan dalam satu wawancarannya dengan New York Post, ia mengatakan tidak pernah peduli jika kuliah akan mengahacurkan kariernya sebagai artis, “I’d rather be smart than a movie star”, ucapnya pada Fox News. Ya, Natalie memang adalah sedikit artis yang memegang paham pendidikan lebih penting daripada karier. Ia sendiri merupakan  lulus dari Universitas Harvard dengan gelar sarjana di bidang psikologi pada 5 Juni 2003 lalu. Natalie juga fasih bertutur bahasa Ibrani, Inggris, Perancis, Jepang, dan Jerman.

Karier Natalie di bidang akting di mulai saat usianya 10 tahun. Pada saat itu ia terlebih dahulu mendapatkan tawaran sebagai model cilik dari perusahaan make-up terkenal, Revlon namun ditolaknya karena ingin lebih memfokuskan dirinya dalam dunia akting. Untuk bocah 10 tahun Natalie sudah memliki ambisi tinggi, ia tahu apa yang ia mau dan akan berjuang untuk mendapatkannya, hal itulah yang membuatnya berbeda dari anak-anak kebanyakan. Di saat liburan sekolah Natalie menghabiskan waktu nya untuk menghadiri audisi untuk berbagai pertunjukan theater, hingga pada suatu hari di sebuah kedai Pizza seorang agen menemukan bakatnya aktingnya yang kemudian membawanya ke debut akting profesionalnya dalam LéonThe Professional / arahan surtradara Perancis Luc Besson pada tahun 1994 di saat usianya masih 13 tahun. Tak bisa dipungkiri lagi kesuksesan Léon yang  banyak mendapatkan pujian dari kritikus dunia juga sedikit banyak karena jasanya. Ya, Natalie sukses membawakan perannya dengan luar biasa sebagai Mathilda, gadis kecil yang bersahabat dengan tetangganya yang juga seorang pembunuh bayaran. Lewat film produksi Perancis ini juga ia mulai dikenal dengan nama Natalie Portman, nama yang diambilnya dari nama keluarga sang nenek dari pihak ibunya.
Léon seakan-akan menjadi ‘pintu gerbang emas’ bagi karier Natalie di belantika perfilman Hollywood.  Semenjak saat itu wanita bertinggi badan 165 cm ini mulai membintangi beberapa film,  sebut saja Heat (1995), Everyone Says I Love You (1996), dan Mars Attacks! (1996) walaupun setelah itu sempat vakum selama 3 tahun dalam rangka merampungkan pendidikannya di sekolah menengah atas.
Pada tahun 1999 Nat (seperti itu ia biasa dipanggil sehari-hari) kembali mendapatkan peran utama dalam Anywhere but Here, film drama  yang bercerita tentang hubungan ibu dan anak ini sempat ditolaknya karena naskah awal mengaharuskannya melakukan adegan seks, untung saja sang sutradara Wayne Wang dan artis Susan Sarandon yang berperan sebagai ibunya disni juga menginginkan naskah tersebut di tulis ulang. Dan memang tidak percuma, tidak hanya membuatnya mau turut serta bermain dalam film itu, namun juga membuat Nat juga ‘diganjar’ piala Golden Globe untuk Best Supporting Actress dalam perannya  disini sebagai Ann August. Di tahun yang sama, perannya sebagai Queen Padmé Amidala dalam Star Wars Episode I: The Phantom Menace yang juga merupakan instalemen pertama dari trillogi prekuel saga sci-fi terlaris dunia, Star Wars arahan George Lucas secara tidak langsung membuat kepopuleran Nat kembali terangkat. Ia juga kemudian melanjutkan peran sebagai ibu  dari salah satu ikon film legendaris, Darth Veder itu ke dua seri selanjutnya.

Setelah membintangi Where the Heart Is pada tahun 2000 lalu, Nat kemudian memutuskan untuk sekali lagi vakum dalam urusan berakting, lagi-lagi karena ambisinya untuk mengejar gelar sarjana dalam bidang psikologi di Universitas Harvard. Dalam wawancaranya pada tahun 1999, kecuali membintangi prekuel kedua  Star Wars, Star Wars Episode II: Attack of the Clones, Nat tidak akan berakting dalam 4 tahun kedepan agar dapat berkonsetrasi pada pendidikannya. Bahkan proses pengambilan gambar pun ia lakukan di sela-sela libur kuliah. Nat lulus kuliah pada tahun 2003 kemudian melanjutkan kariernya dengan mengambil peran kecil dalam Cold Mountain, dilanjutkan dengan membintangi drama romantis Garden State dan Closer. Perannya sebagai Alice dalam Closer membuatnya dinominasikan sebagai Best Supporting Actress dalam ajang Golden Globe dan Academy Award 2004.  Setelah Star Wars Episode III: Revenge of the Sith memperoleh kesuksesan luar biasa, Nat bergabung dalam action-thriller,  V for Vendetta bersama Hugo Weaving di tahun 2006. Di sini artis yang juga seorang vegetarian sejati ini berperan sebagai Evey Hammond,  mengharuskan dirinya melakukan dialog dalam logat Inggris serta mencukur habis rambutnya. Di tahun ini juga Nat mengambil bagian dalam salah cerita dari 22 kisah cinta dalam Paris, je t’aime.
Selanjutnya dalam rentang waktu 2007-2009 Nat telah bermain dalam beberapa film, sebut saja My Blueberry Nights milik Wong Kar Wei, The Darjeeling Limited, yang untuk kedua kalinya Nat berani tampil tanpa busana setelah Goya’s GhostsMr. Magorium’s Wonder Emporium bersama Dustin Hoffman, The Other Boylen Girl bersama Eric Bana dan Scarlett Johansson, New York, I Love You, Brothers dan Hasher yang dirilis terbatas.
Tahun 2010 bisa dibilang adalah tahunnya Natalie Portman. Dedikasi yang luar biasa dalam menghidupkan karakter balerina obesesif Nina Sayers dalam Black Swan, sampai-sampai ia rela kehilangan 10 kg berat tubuhnya, berlatih ballet sampai 5-8 jam perhari, dan perjuangannya itu ternyata tidak sia-sia Nat sukses membawa pulang piala Golden Globe dan Oscar sebagai Best Actress dalam ajang  perfilman dunia paling bergengsi yang baru saja berlangsung 27 Februari 2011 lalu. Selain menjadi puncak kariernya, Black Swan rupanya juga memberikan berkah lain bagi kehidupan pribadi Nat. Yup, pada akhir 2009 ia bertemu kekasihnya, Benjamin Millepied, pebalet profesional yang juga menjadi aktor pendukung sekaligus koreografer dalam l Black Swan, hingga kemudian pada  27 Desember 2010 lalu keduanya secara resmi mengumumkan pertunangan kepada press dan menantikan kelahiran buah cinta mereka pada musim panas 2011 nanti.
Tahun ini kita dapat menyaksikan kembali akting Nat sebelum nantinya ia memutuskan cuti sementara untuk melahirkan dalam romcom No Strings Attached dimana ia berduet dengan Asthon Kutcher, komedi fantasi, Your Highness bersama James Franco dan Zooey Deschanel serta salah satu adaptasi komik yang paling ditunggu, Thor.


Trivia

  • Telah menjadi vegetarian sejak berusia 8 tahun.
  • Belajar menari sejak berusia 4 tahun.
  • Matematika adalah pelajaran favoritnya di sekolah.
  • Sebelum masuk dalam jajaran cast Star Wars: Episode I – The Phantom Menace (1999) Nat tidak pernah menonton 3 film Star Wars sebelumnya.
  • Hingga kini belum pernah bermain dalam film bergenre horror.
  • Masuk dalam daftar 50 wanita tercantik versi People Magazine tahun  2002.
  • Aktor favoritnya adalah Ben Kingsley.
  • Berteman dekat dengan  Jake Gyllenhaal, Mila Kunis dan Bryce Dallas Howard.
  • Tanggal kelahirannya sama dengan Johnny Depp dan Michael J. Fox.
  • Pernah dipertimbangkan untuk memerankan Selina Kyle/Catwoman dalam sekuel kedua Batman Begins,  The Dark Knight Rises (2012)
Portman’s Filmography
  • (2011) Thor – Jane Foster
  • (2011)  Your Highness – Isabel
  • (2011)  No Strings Attached – Emma
  • (2010)  Black Swan – Nina Sayers
  • (2010)  Hesher – Nicole
  • (2009)  Brothers – Grace Cahill
  • (2009)  The Other Woman – Emilia Greenleaf
  • (2009)  New York, I Love You – Rifka
  • (2008)  The Other Boleyn Girl – Anne Boleyn
  • (2007)  Mr. Magorium’s Wonder Emporium – Molly Mahoney, the Composer
  • (2007)  Hotel Chevalier (short)  – Jack’s Girlfriend
  • (2007)  The Darjeeling Limited – Jack’s Ex-Girlfriend
  • (2007)  My Blueberry Nights – Leslie
  • (2006)  Goya’s Ghosts – Inés / Alicia
  • (2006)  Paris, Je T’Aime – Francine (segment “Faubourg Saint-Denis”;)
  • (2006)  V for Vendetta – Evey Hammond
  • (2005)  Free Zone – Rebecca
  • (2005)  Star Wars: Episode III – Revenge of the Sith – Padmé
  • (2005)  Domino One – Dominique Bellamy
  • (2004)  Closer – Alice
  • (2004)  True (short) – Francine
  • (2004)  Garden State – Sam
  • (2003)  Cold Mountain – Sara
  • (2002)  Star Wars: Episode II – Attack of the Clones – Padmé
  • (2000)  Where the Heart Is – Novalee Nation
  • (1999)  Anywhere But Here – Ann August
  • (1999)  Star Wars: Episode I – The Phantom Menace Queen Amidala / Padmé
  • (1996)  Mars Attacks! – Taffy Dale
  • (1996)  Everyone Says I Love You – Laura Dandridge
  • (1996)  Beautiful Girls – Marty
  • (1995)  Heat – Lauren Gustafson
  • (1994)  The Professional- Mathilda
  • (1994)  Developing (short) – Nina

Teaser Trailer – The Dark Knight Rises (2012)

Director: Christopher Nolan Stars: Christian Bale, Joseph Gordon-Levitt, and Gary Oldman Release: 12 July 2012
 
Setelah sempat bocor di internet, Warner bross akhirnya meluncurkan teaser trailer resminya tadi malam. Dalam teaser trailer yang berdurasi 1:35 itu memperlihatkan Jim Gordon (Gary Oldman) yang terbaring lemah di rumah sakit sedang meminta bantuan kepada batman, setelah itu memperlihatkan sekilas wajah Bane, tokoh antagonis utama di film ini. Sinopsisnya sendiri masih belum jelas, karena masih rahasia. Film ini menambah daftar panjang dari franchise Batman, The Dark Knight Rises masih mengunakan pemain-pemain lama, dan pemain baru lainnya seperti Tom Hardy yang akan berperan sebagai Bane, lalu Anne Hattaway, Marion Cotillard & Joseph Gordon-Levitt.

Trailer – Battleship (2012)

Directed by Peter Berg. Stars: Liam Neeson, Alexander Skarsgard, Taylor Kitsch,Rihana Release : 18 May 2012
Trailer memperlihatkan ketika Laksamana Shane (Liam Nesson) dan Alex Hopper (Taylor Kitsch) bersama angkatan lautnya yang lengkap dengan senjata yang siap di tembakan, menemukan objek aneh di tengah laut, mereka pun menyelidiki apa sesungguhnya benda aneh tersebut, dan ternyata adalah pesawat Alien. Saya tidak menyangka bahwa film ini akan memunculkan Alien.. ya lagi lagi alien, sangat jarang hollywood membuat film tentang marine dan kali ini dikemas seperti film Battle : Los Angeles. Di sutradarai oleh Peter Berg film ini juga memasukan penyanyi Rihana untuk beradu akting dengan Liam Nesson, Alexander Skarsgard dan Taylor Kitsch. Battleship mulai tayang di bioskop pada pertengahan 2012 nanti.

 

Sneak Peek – Prometheus (2012)


“…A team of explorers discover a clue to the origins of mankind on Earth, leading them on a journey to the darkest corners of the universe.
Belum jelas dan mahluk seperti apa yang akan di tampilkan di film ini, Prometheus banyak mengundang pertanyaan dari kalangan moviegoers, kira-kira apakah film ini ada prequel dari “Alien” yang di buat oleh Ridley scott sendiri pada tahun 1979?, sekarang kita bisa lihat jawabannya dengan gambar-gambar dan poster yang baru di release beberapa hari yang lalu.

Gambar di atas membuktikan kalau itu adalah penampakan mayat Space Jockey. Space Jockey adalah makhluk asing/pilot/ilmuwan yang menciptakan mahluk genetik xenomorph (Alien) sebagai bahan percobaan biologis, kemungkinan besar di film ini nanti si Ridley Scott lebih menekankan cerita ke space jockey dari pada mahluk Aliennya.
Prometheus di bintangi oleh Michael Fassbender, Charlize Theron, Guy Pearce, Noomi Rapace, Logan Marshall-Green, Rafe Spall, Idris Elba, Sean Harris, Kate Dickie dan Ben Foster dan akan tayang di bioskop 8 juni 2012 dalam format 3D dan 2D.

 

Review – Chronicle (2012)

Matt: ” Listen to me, we can’t screw around with this it’s too dangerous. Andrew, this is not a game! “
Coba hitung ada berapa jumlah mokumentari horor sampai saat ini? Ya, ada banyak, termasuk yang terakhir, sekuel kedua dari franchise Paranormal Activity yang menghebohkan itu, nah sekarang sebutkan mokumentari yang isinya menghadirkan remaja-remaja yang memiliki kekuatan super dan bisa terbang di dalamnya? hmm….tidak ada -dan please, adegan Micah ‘terbang’ pada ending Paranormal Activity itu  jelas tidak termasuk- tapi itu tidak lama sampai kemudian datanglah dua sineas muda berbakat yang baru berusia 27 tahun, Josh Trank bersama rekannya, Max Landis yang membawa sebuah kesegaran di ranah faux documenter dalam debutnya ini. Ya, ide soal manusia berkekuatan super memang bukan sesuatu yang baru, ada banyak film superhero yang sudah melakukannya, tapi kemudian mencampurnya dengan style dokumenter dengan sudut pandang orang pertama itu jelas sebuah terobosan yang luar biasa apalagi jika dibandingkan koleganya yang sama-sama bergenre sci-fi, Cloverfield,  Chronicle jelas punya pergerakan kamera yang jauh lebih ramah dan bersahabat serta lebih inovatif. Ya, bisa dibilang Trank sudah membawa genre ini satu tingkat ke level lebih tinggi.
Trank membuka kisah Chorincle seperti kebanyakan mokumentari lain, pelan, memperkenalkan penontonnya terlebih dahulu kepada karakter-karakter utamanya yang masih belia, tapi tenang, meskipun sedikit lambat di awal ia tidak akan sampai membuat anda bosan karena Landis mampu menghadirkan segalanya begitu dekat dengan kita. Ada Andrew (Dane DeHaan), sepupunya, Matt (Alex Russell) dan teman mereka, Steve (Michael B. Jordan) yang tanpa sengaja menemukan sesuatu yang luar biasa yang kemudian berdampak hebat pada diri mereka, tapi seperti kata Peter Parker dalam Spider-Man, “With great power comes great responsibility.” maka persahabatan mereka pun diuji ketika kekuatan super itu membuat mereka lupa diri.
Menonton Chronicle itu seperti melihat sedikit campuran dari American Pie  X-Men, sedikit The Blair Witch Project dan sedikit We Need to Talk About Kevin yang dibungkus dengan semangat muda nan enerjik. Tone ceria yang  mendominasi paruh pertamanya plus humor ringan  langsung mampu memikat penontonnya, terutama sejak ketiganya pertama kali menemukan sumber kekuatan mereka, lalu dengan iseng mencoba-cobanya untuk mengusili orang lain, ya, itu menjadi bagian paling kocak di sini atau ketika ketiganya mengajak penontonnya terbang menembus awan, wow! Sebuah sensasi spektakuler dengan dukungan pergerakan kamera dinamis yang tidak akan anda temui di mockumentari manapun dan menariknya lagi, masih tearasa masuk akal.  Sebuah sensasi terbang yang bahkan film sekelas Superman sekalipun tidak bisa menghadirkannya.
Namun setelah itu mulai hadir kematian, menjadikan kisahnya lebih gelap dan karakter-karakter yang dimainkan aktor-aktor muda pendatang baru itu mampu berkembang lebih dalam sampai pada akhirnya Trank dan Landis ‘meledakan’ semuanya di 20 menit akhir yang super fantastis itu. Ada banyak ledakan besar, mobil-mobil terbalik, dilema moral dan pertarungan habat di klimaksnya yang kemudian berakhir dengan suara penuh kekaguman dari penonton dan tentu saja pertanyaan menarik seperti “Bagaimana mereka melakukannya?” Ya, budgetnya ‘hanya’ 15 juta Dollar tapi Chronicle punya cita rasa, spesial efek dan magis seperti film-film blockbuster mahal yang dananya puluhan kali lipat, sekali lagi semua itu berkat ide brilian dan kemampuan luar biasa dua sineas mudanya yang mampu membuat manusia bisa terbang dengan serealistis itu. Tentu saja akan saya tunggu kembali kiprah mereka selanjutnya di proyek mereka selanjutanya yang mudah-mudahan saja mampu sebagus ini.

Review – Haywire (2012)


Kenneth: ” You shouldn’t think of her as being a woman. That would be your first mistake “
Lupakan Salt jika anda memang mengharapkan film terbaru Steven Soderbergh ini akan tampil sehingar-bingar action thriller yang dibintangi Angelina Jolie itu karena meskipun mengusung konsep sama, sama-sama menghadirkan sosok heroin yang terkhianati dalam sebuah konspirasi tingkat tinggi dan kemudian melakukan pembalasan yang ganas, Haywire adalah tipe film aksi yang sama sekali berbeda dan mungkin membuat kebanyakan penontonnya menyesal sudah menontonnya, termasuk saya atau mungkin anda salah satunya.
Saya bukan fans Steven Soderbergh meskipun menjadikan Erin Brockovich sebagai salah satu favorit saya sepanjang masa, tapi ketika ia bisa meremake Ocean’s Eleven klasik dan kemudian berlanjut ke dua sekuelnya sekeren itu tentu saja saya punya ekspektasi sedikit tinggi terhadap Haywire, film aksi pertamanya. Dan tentu saja saya salah -ingat saya bukan fans Soderbergh, karena satu-satunya aroma yang tertinggal dari trilogi pencurian itu hanya scoring jazz bikinan David Holmes. Ya, Haywire itu seperti ajang Soderbergh bersenang-senang melakukan sebuah ekperimen art house, khususnya pada sisi teknisnya yang bisa jadi menjadi kekuatan terbesar di sini tanpa meninggalkan ciri khasnya seperti pengunaan tone warna berbeda-beda di setiap scene layakanya yang tersaji dalam Traffic, jumps-cut, flash back dan tentu saja kumpulan bintang-bintang kelas satu, lihat saja deretan nama-nama besar dari Michael Douglas, Antonio Banderas, Ewan McGregor, Bill Paxton, Michael Fassbender sampai Channing Tatum.
Tapi percobaan yang dilakukan Soderbergh bak dua sisi mata uang yang berbeda, di satu sisi ia mampu menghadirkan sebuah film aksi yang unik, atau saya menyebutnya art house dengan segala editing dan momen-momen ‘sunyi’  tanpa musik latar termasuk pada saat adegan baku hantam sedang berlangsung Ya, efeknya memang luar biasa, membuat setiap pertarungan tangan kosong yang dilakukan Gina Carano terasa begitu natural dan berkelas apalagi kebanyakan datang secara mengejutkan. Namun di sisi lain Haywire juga berpotensi besar menjemukan penontonnya, karena ia terlalu datar untuk ukuran sebuah fim aksi, sedatar ekspresi Channing Tatum, repetitif, tanpa ada momen yang benar-benar mencapai puncak di 90 menitnya, termasuk naskah garapan Lem Dobbs yang tidak menghadirkan sesuatu yang spesial, dan dialog-dialognya terkesan berputar-putar tidak jelas, padahal jujur saja Haywire punya cerita yang simpel, terlalu simpel malah hanya bagaimana Soderbergh mengemasnyalah yang membuat Haywire tampak berat dan kompleks.
Tentu saja Gina Carano yang kemudian paling mencuri perhatian. Ia seperti Bourne versi wanita, sangat tangguh dengan kemampuan bela diri mematikannya  dengan koreografi yang hampir semuanya di tata oleh aktris 30 tahuh ini. Lihat saja bagaimana Carano menaklukan Channing Tatum di awal-awal film, berlari dan melompat dari kejaran garda Dublin di atap-atap bangunan,  menjepit leher Fassbendar dengan selangkangannya di sebuah hotel dalam salah satu pertarungan tangan kosong hebat, atau membuat McGregor babak belur di akhir film dalam balutan setting pantai plus matahari terbenam yang artsy itu. Tapi Carano bukan tipe aktris yang memiliki pesona besar, ya, ia cantik, seksi dan tangguh, tapi sayang aktingnya datar, sedatar (lagi-lagi) Channing Tatum, bahkan Carano terlihat payah disaat harus berdialog sedikit panjang.
Saya bukan anti art house, hanya saja eksperimen yang dilakukan Soderbergh di dengan film aksi terbarunya ini terasa  ‘berlebihan’ dan tidak bekerja dengan baik, khususnya terhadap penonton-penonton awam yang berharap bahwa Haywire akan memberikan sebuah tontonan action penuh lompatan adrenalin, ledakan dan aksi-aksi spektakuler. Ya, cukup mengecewakan memang, tapi bagaimanapun saya tetap harus angkat topi ketika Soderbergh sudah mengarap sisi teknisnya dengan sangat baik.

Review – The Grey (2012)


Ottway: “We kill them one at a time. Tip the numbers. That’s what they’re going to us.”
Dalam The Grey, Liam Nesson ‘tersesat’ di Alaska yang dingin sebagai John Ottoway. Di tempat itu ia bekerja sebagai pembunuh bayaran, tapi tunggu dulu, bukan seperti bayangan anda, ia tidak membunuh manusia tapi hewan-hewan buas macam serigala atau beruang yang mengancam keselamatan para penambang minyak. Malam itu adalah malam terkahirnya dan juga para pekerja lain sebelum keesokan harinya kembali pulang ke kehangatan rumah mereka masing-masing. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, nasib berkata lain, pesawat yang ditumpangi para pekerja minyak itu mengalami kecelakaan hebat akibat cuaca buruk sampai akhirnya terjatuh di pedalaman Alaska dan hanya menyisakan segelintir yang selamat, termasuk John. Dari sini Pria paruh baya yang baru saja kehilangan istrinya itu memimpin para pekerja yang tersisa, tidak hanya bertahan hidup melawan keganasan alam dengan suhu super dinginnya, tapi juga sekelompok serigala salju buas.
Awalnya The Grey sedikit banyak mengingatkan saya pada Alive (1993), survival drama yang diangkat dari kisah nyata tentang sekelompok pemain football Uruguay yang terdampar di tengah pengunungan Andes karena kecelakaan pesawat, tapi itu hanya sebentar sebelum sutradara The A-Team, Joe Carnahan menunjukan bahwa The Grey yang naskahnya diadaptasi dari cerita pendek Ghost Walker-nya Ian MacKenzie Jeffers (Jeffers juga menjadi penulis naskah The Grey bersama Carnahan) ini  jauh lebih keras dan kejam daripada sekelompok pemuda-pemuda manja yang memakan daging manusia demi bertahan hidup, lihat saja misalnya, ketika karakter Nesson langsung blak-blakan mengatakan kepada salah satu pekerja yang sekarat paska jatuhnya pesawa bahwa ia akan segera mati dengan kondisinya seperti itu, tidak ada kata-kata penghiburan dari pria yang kehilangan imannya itu.
The Grey diisi oleh para pria-pria tangguh para penambang minyak, dan di sini musuhnya juga tidak kalah tangguh, ada alam liar Alaska yang terisolasi dengan suhu di bawah 10 derajat lengkap dengan badai saljunya sama sekali tidak menyisakan kehangatan selain api yang dibuat para karakternya dan untuk lebih memperburuk keadaan yang sudah buruk itu ada sekawanan serigala salju yang mulai membunuh mereka satu persatu. Ya, akan ada banyak kematian, tubuh terkoyak dan darah bercecaran disepanjang 117 menitnya yang bahkan membuat sang ahli serigala seperti John Ottoway harus merasakan ketakutan luar biasa.
Dan satu jam pertama menjadi bagian paling mencekam dari The Grey. Penontonnya hanya diberi sedikit waktu untuk bernafas sebelum kemudian kembali merasakan teror-teror dari serigala-serigala buas itu dan keadaan tidak bertambah baik setelahnya. Yang sedikit disayangkan adalah bagaimana Carnahan seperti terlalu mudah memberikan petunjuk mana-mana karakter yang akan menjadi korban selanjutnya, jadi jika anda jeli maka anda akan dengan mudah menebak siapa yang akan mati konyol berikutnya. Menginjak akhir film tensi mulai sedikit menurun dan sedikit membosankan. Dari sini Carnahan kemudian bermain-main dengan sisi spritual karakternya, siapa saja orang-orang yang mereka cintai dan bagaimana mereka memandang setiap kematian dengan cara yang berbeda melalui perbincangan panjang, sampai pada akhirnya The Grey ditutup dengan sebuah ending terbuka yang menggetarkan, membiarkan penontonnya untuk menentukan sendiri apa yang terjadi di ujung ceritanya itu.
Ini bukan sekedar thriller survival manusia vs. alam, tapi manusia vs. alam vs. serigala dan drama tentang para manusia-manusia yang bertahan hidup didalamnya melakukan perjalanan spiritual dalam mencari keimanan mereka. Naskahnya memang tidak istimewa, tapi bagaimana Joe Carnahan menyajikannya menjadi sebuah tontonan yang mencekam itulah yang menjadikan The Grey menarik. Dan Liam Nesson masih tampil garang-lembut seperti biasanya mempesona dengan karkaternya yang garang-lembutnya.

Review – Underworld: Awakening (2012)

Selene: This is a new war and it’s only beginning.
Peperangan antara vampir dan lycan (manusia serigala)  memang akan selalu abadi, Len Wiseman dan franchise Underworld ciptaannya tampaknya tahu benar soal itu, lihat saja tahun ini ia bersama Screen Gems kembali menghadirkan instalemen terbaru Underworld, kali ini diberi sub judul Awakening. Tapi yang kemudian menjadi kejutan terbesar bukanlah episode baru itu sendiri atau kemunculan duo sutradara baru Måns Mårlind dan Björn Stein asal Swedia yang ditunjuk Wismen untuk mengantikan posisinyanya sementara ia duduk santai di bangku produser atau bukan juga pengunaan perdana secara luas teknologi kamera RED EPIC 3d yang bahkan mendahului The Hobbit dan The Amazing Spider-man, tapi adalah kemunculan kembali si cantik Kate Beckinsale dengan latex hitam ketatnya sebagai Selene si vampir seksi nan mematikan paska Evolution lima tahun.
Apa yang terjadi di Awakening yang mengambil setting 6 bulan setelah Evolution adalah ras manusia yang kini mengetahui dan turut campur tangan di antara pertikaian dua spesies supranatural. Manusia lalu melakukan ‘pembersihan’ besar-besaran terhadap dua mahkluk yang dianggap berbahaya itu termasuk menangkap Selene dan ‘menidurkannya’ guna kepentingan penelitian. Dari sini kisahnya langsung melompat ke 12 tahun kemudian. Selene yang berhasil meloloskan diri laboratorium Antigen (tempatnya disekap) kemudian mulai menyadari bahwa ia kini telah menjadi seorang ibu.
Selain pengunaan 3D untuk pertama kalinya dan dua sutradara baru, sesungguhnya tidak banyak yang berubah di dunia Underworld. Formulanya masih sama seperti yang diusung oleh Wiseman di seri-seri pendahulunya, sebuah sungguhan action supranatural dengam mengandalkan sosok vampir heroin sebagai daya pikat utamanya. Soal bagaimana kualitas naskahnya sebetulnya tidak usah dipikirkan terlalu jauh, toh, franhcise Underworld memang tidak pernah menghadirkan sebuah jalinan kisah yang luar biasa tidak juga naskah Awekening yang bahkan sampai ‘dikeroyok’ 4 orang ini, malah kalau mau jujur ini menjadi seri Underworld dengan cerita yang paling buruk dan terlihat terlalu maksa untuk membuatnya tetap berlanjut ke seri-seri selanjutnya. Yah, padahal dengan memasukan sub-plot tentang kehadiran Eve (India Eisley) sebagai putri Selene seharusnya bisa membuat kisah Awakening  menjadi semakin menarik dan emosional, sayang hal tersebut tidak berhasil dimaksimalkan.
Oke, lupakan naskahnya yang lemah itu, karena saya senang melihat Kate Beckinsale kembali. Sungguh ia sudah membuat Awekening menjadi keren, setelah sebelumnya Rhona Mitra sempat menggantikannya di Rise of the Lycans 3 tahun lalu, dan jujur saja sensasinya jauh berbeda. Lihat saja bagaimana aktris Inggris berusia 39 tahun ini terlihat begitu hebat dan tangguh di setiap scene pertarungan brutal yang melibatkannya tanpa atau dengan senjata tanpa harus kehilangan pesona kecantikan dan keseksiannya apalagi mengingat karakternya kini tapil jauh lebih kuat dengan kemampuan  ‘Vampire-Corvinus‘-nya yang sedikit banyak sudah mengingatkan saya pada karakter Alice dalam franchise Resident Evil.
Sayang meskipun terlihat lebih keras dan brutal ketimbang seri-seri terdahulu, untuk bagian aksinya sendiri Måns Mårlind dan Björn Stein tidak pernah mampu membuatnya benar-benar mencapai titik puncak, yang ada malah terlihat kosong dibalik segala gambar-gambar dan efek slowmotion cantiknya, termasuk adegan klimaks di saat Selene berhadapan dengan Quint Lane, si lycan raksasa yang seharusnya bisa tampil lebih nendang lagi.
Masih sama seperti yang sudah-sudah, masih ada perang antara vampir penghisap darah dan manusia serigala jadi-jadian, momen-momen pertarungan keren, Underworld: Awakening tidak banyak menarkan inovasi yang mengesankan, termasuk naskahnya. pengunaan teknologi 3D termuktahirnya atau juga penyutradaraan dari Måns Mårlind dan Björn Stein . Yah, untung saja ada Kate Beckinsale yang kembali hadir menolong franchise ciptaan suaminya ini untuk tidak sampai terpuruk lebih dalam lagi.

Review – ATM (2012)


” No Warning, No Control, No Escape “
Dari kamar James Stewart di Rear Window yang klasik itu, bilik telepon umum di Phonebooth sampai yang paling ekstrim, melihat Ryan Renolds dikubur hidup-hidup dalam Buried, thriller-theriller ruang sempit  akan selalu menjadi tontonan menarik buat saya, termasuk yang terbaru satu ini. Ya, ATM, tidak perlu menjadi jenius untuk dapat langsung menebak jika thriller garapan David Brooks ini akan mengambil Anjungan Tunai Mandiri yang berukuran kurang lebih 4×4 m sebagai TKP nya. Isinya, 3 orang rekan kerja yang baru saja pulang dari pesta malam natal, rencananya mereka hanya mampir sejenak,  sekedar mengambil beberapa dollar untuk makan malam yang telat. Tapi di luar sudah menunggu sosok misterius yang menatap mereka dari kejauhan. Dan ketika sosok dengan parka (jaket tebal berkerudung yang dihiasi bulu) itu mulai membunuh seorang pria malang yang berada di dekat situ, segera mereka menyadari bahwa mereka berada dalam masalah besar.
Menyebalkan adalah jika prediksi kita terhadap sebuah film itu ternyata benar, sama seperti ketika saya memprediksi bahwa ATM itu tidak lebih dari sebuah slasher medioker yang sekedar menjual premis menariknya. Ya, ini adalah jenis film yang pantas langsung dirilis ke home video ketimbang tampil di layar lebar. Filmnya sendiri sesungguhnya baru dimulai pada menit ke 15, setelah melewati banyak orbrolan-obrolan tidak penting, karkater pria yang mencoba mengaet rekan kerja wanitanya hingga salah satu temannya yang mabuk bergabung untuk minta diantar pulang. Nah, ketika bilik kecil itu akhirnya muncul di layar saya tentu saja berharap nantinya ATM akan menjadi semakin menarik, sayangnya tidak.
Seperti kebanyakan thriller medioker lainnya, ATM punya cerita yang kelewat corny serta tidak luput dari rentetan kebodohan demi kebodohan, termasuk tipikal karakter pembunuh tanpa motif yang sok misterius dengan jaket tebal ala pembunuh dalam slasher Urban Legend. Tensinya ketegangannya tidak pernah benar-benar mencapai titik puncak, setting minimalis juga tidak banyak membantu untuk membuatnya menjadi semakin mengerikan. Ini seperti menonton sebuah lawakan yang tidak lucu yang dipenuhi dengan bayak plot hole dan kekonyolan yang seakan-akan sedang mengejek logika anda, coba lihat saja,  apa yang akan terjadi kepada seorang polisi jika ia datang sendirian? Atau mengapa dari awal tiga orang bodoh ini memarkirkan mobilnya jauh dari bilik ATM di suhu sedingin itu? Sungguh sulit dipercaya ada nama Chris Sparling di sini. Ya. penulis naskah yang sebelumnya bertanggung jawab dengan kesuksesan Buried itu sudah mentah-mentah menipu saya dengan sebuah slasher medioker pointless yang hanya menjual premisnya yang menantang tanpa adanya dukungan eksekusi yang baik. It’s such a waste of time.

Review – The Hunger Games (2012)


Katniss Everdeen: “There’s 24 of us Gale, only one comes out”
Amerika utara versi distopia di masa depan itu bernama Panem. Ia punya permainan mengerikan bernama Hunger Games yang disiarkan secara besar-besaran tiap tahunnya. Tapi Ini bukan sekedar permainan tentang siapa yang jago menahan lapar paling lama, melainkan sebuah kontes yang tujuan akhirnya hanya satu, bertarung dan bertahan hidup sampai nantinya hanya tersisa satu orang yang  menjadi pemenangnya. Pesertanya ada 24 orang, terdiri dari 12 remaja pria dan wanita yang masing-masing pasangan diambil dari 12 distrik yang terhukum akibat perang di masa lalu, salah satunya adalah Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) remaja 16 tahun dari distrik terakhir dan paling miskin yang secara sukarela menggantikan posisi sang adik sebagai tumbal, menemani peserta pria lain, Peeta Mellark (Josh Hutcherson) yang ‘beruntung’ terpilih untuk kemudian saling membunuh dalam ajang Hunger Games.
Temanya sangat provokatif, novelnya sendiri juga laris manis, tidak heran jika  Lions Gate, studio yang baru saja mengakusisi Summit Entertaiment ini tergiur untuk membeli hak ciptanya sejak 2009 lalu untuk kemudian dijadikan proyek mereka paling ambisius tahun ini. Ya, inilah The Hunger Games, sebuah drama aksi fiksi ilmiah yang kisahnya diadaptasi dari trilogi teen-lit milik Suzanne Collins yang gemanya sudah terdengar keras sejak tahun lalu. Konsepnya memang menantang, kontroversial dan terdengar brutal. Banyak yang menganggap Collins sudah mencuri ide dari thriller cult Jepang, Battle Royale milik  Kinji Fukasaku tahun 2000 lalu.
Terlepas dari benar atau tidaknya ia meniru cerita film lain, The Hunger Games yang dikomandoi oleh Gary Ross yang sebelumnya pernah membuat Tobey McGuire terjebak dalam dunia televisi hitam putih (Pleasentville) dan menjadi seorang joki handal (Seabiscuit) ini sebenarnya punya ceritanya sendiri, tidak hanya menampilkan premis tentang kebrutalan dan kekerasan semata namun ada sedikit unsur politis dan juga secara tidak langsung sudah menyingung bagaimana dunia reality show televisi yang tidak kalah kejamnya ketika sudah begitu luar biasanya mengeksploitasi tragedi seseorang. Ya, kamu bisa menganggap The Hunger Games seperti versi muktahir dari Battle Royale, sedikit Gladiator dan acara reality show macam Big Brother dengan tambahan bumbu romansa remaja di dalamnya.
Tapi pada akhirnya kekejaman premis The Hunger Games menjadi tidak terlalu kentara di sepanjang 142 menit, memang masih ada darah dan banyak pembunuhan, tapi sama sekali tidak terasa sebrutal premisnya. Salahkan Lions Gate dan Ross yang memilih untuk bermain aman dengan menjadikan setiap momen beringasnya menajadi ‘jinak’ dengan pemilihan rating PG-13-nya. Namun untuk sebuah film remaja adaptasi novel, The Hunger Games bisa dibilang cukup enjoyable untuk disantap sebagi tontonan hiburan dengan kombinasi setting futuristik-klasiknya meskipun harus diakui untuk ukuran sebuah film yang menampilkan banyak aksi bunuh-bunuhan ia terasa berjalan terlalu lama dan sedikit membosankan di satu jam pertamanya tanpa dukungan naskah yang kuat, untung saja ia punya Jennifer Lawrence, “the girl on fire” yang tampil gemilang sebagai Katniss Everdeen, gadis belia yang dipaksa bertahan hidup demi menyelamatkan adiknya, Ya, penampilan apik aktris cantik yang tampil luar biasa sebagai remaja yang mencari ayahnya di Winter’s Bone inilah yang mampu menjadikan The Hunger Games tetap enak untuk ditonton selain premisnya provokatif nya itu, bahkan sudah menengelamkan pesona lawan mainnya, Josh Hutcherson yang terlihat kaku dan tanpa emosi di sepanjang film. Sementara para pemain pendukung lain macam Woody Harrelson, Elizabeth Banks, Stanley Tucci, Donald Sutherland bahkan Lenny Kravitz juga tampil tidak mengecewakan.
The Hunger Games mungkin tidak sesuai dengan ekpektasi saya sebelumnya. Untuk ukuran drama fiksi ilmiah ambisius yang menjual premis semenarik ini, Gary Ross tampak terlalu bermain aman dengan rating remajanya, tujuannya jelas untuk dapat merangkul lebih banyak audiens, tapi imbasnya membuat film ini terasa ‘lembek’ terlebih Ross tidak mampu memaksimalkan durasinya yang panjang dengan kualitas naskah yang bagus. Tapi yah, harus diakui sebagai sebuah drama remaja, The Hunger Games sudah mampu memberikan hiburan menarik terlebih ia juga punya seorang Jennifer Lawrence yang mampu mendominasi setiap momen di dalamnya dengan performa hebatnya. Ya, mudah-mudahan sekuelnya, Catching Fire yang dijadwalkan rilis tahun depan nanti bisa tampil lebih baik dari ini.

 

Review – A Dangerous Method (2011)

Carl Jung: ” Pleasure is never simple, as you very well know.”
Otto Gross: “It is. Of course it is. Until we decide to complicate it. What my father call maturity, what I call surrender.”
Bagaimana jika kita diberi kesempatan untuk menyaksikan dua tokoh dunia berbincang di tempat tertutup di mana mereka tidak merasa diamati? Apakah ilmuwan yang mengungkapkan teori-teori yang akhirnya digunakan oleh berjuta orang dan turut mengubah wajah dunia sadar akan pengaruhnya pada saat mereka mendapatkan ilhamnya?
Beberapa tahun terakhir ini saya kebetulan tertarik dengan bacaan tentang Carl Gustav Jung termasuk buku-bukunya. Jika kita riset tentang Jung, nyaris tak terhindarkan kita juga akan menemukan hubungannya dengan Sigmund Freud, pelopor psikoanalis yang lebih tua dari Jung. Karena itu ketika Dangerous Method dirilis, saya tidak menunggu terlalu lama untuk menontonnya. Film ini sebagian besar bercerita tentang Jung beberapa saat sebelum perang dunia pertama. Pada masa ini dia pertama kali mencoba metode ‘mengajak berbicara’ pasien dia yang memiliki problema psikologis. Pada masa ini pula dia pertama kali bertemu dengan orang-orang yang berpengaruh besar dengan cara pemikirannya dan teori-teorinya, Sabina Spielrein dan Sigmund Freud. Bagaimana Jung dan Freud bertemu pertama kalinya ketika Jung berusia 30 dan Freud 50 tahun, dan mereka berdiskusi hingga tidak terasa pada pertemuan pertama itu mereka telah ngobrol selama 13 jam tanpa henti (don’t you love it when it happens?). Diceritakan juga bagaimana seorang wanita Rusia, Sabina Spielrein yang awalnya adalah pasien Jung memengaruhi teori yang nantinya dicetuskan oleh Jung (dan saya baca kemudian jatuh hati) dan akhirnya Spielrein menjadi psikoanalis wanita terkemuka di jaman itu.
Film ini harusnya datang dengan disclaimer, bahwa metode yang digambarkan tidak seberbahaya yang mungkin dibayangkan oleh calon penonton. Tentunya standar ‘berbahaya’ kita terkadang sudah sangat ekstrim. Awalnya adalah sebuah buku nonfiksi yang berjudul A Most Dangerous Method: the Story of Jung, Freud and Sabina Spielrein yang ditulis oleh Joh Kerr, yang kemudian dibuat drama panggung The Talking Cure pada tahun 2002 oleh Christopher Hampton, dan akhirnya menjadi kerjasama ketiga antara Viggo Mortensen (berperan menjadi Freud) dengan David Cronenberg setelah A History of Violence dan Eastern Promises. Saya yang awalnya agak skeptis dengan Viggo menjadi kagum melihat kemampuannya mengungkapkan karakter Freud di sini yang memiliki lapisan yang cukup kompleks. Setiap kata “huh” atau “hmm” yang dilontarkan mencerminkan rasa sayang, terintimidasi atau iri dari matanya yang saya kira tadinya Viggo tidak punya kedalaman cukup sebagai seorang aktor. Bahkan di sini tidak jarang Viggo menyebabkan saya terkikik karena geli.
Michael Fassbender pun memerankan Jung dengan sangat mengesankan. Timing dalam melontarkan dialog dalam debat dan diskusinya dengan Emma Jung(Sarah Gadon) juga Freud dan Spielrein sangat relatable dan juga membuat hati saya berbunga-bunga (saya rasa jika Anda familiar dengan teori-teori Jung akan merasakan hal yang sama). Yang patut dicatat juga di sini adalah Vincent Cassel yang memerankan Otto Gross, seorang psikoanalis yang bermasalah. Walaupun on screen appearance-nya cukup singkat, tetapi menimbulkan kesan mendalam karena kata-kata yang dilemparkannya tentang kedewasaan. Kiera Knightley cukup baik kalau tidak agak terlalu berlebihan (seperti biasa) memerankan Spielrein. Saya cuma suka dia di Atonement. Menurut saya yang paling menonjol dari film ini adalah ‘bromance’ yang terjadi antara Freud dan Jung yang pada saat-saat tertentu sangat mengharukan Entah mengapa akhir-akhir ini saya jauh lebih tersentuh dengan film bromance dibandingkan dengan romance.
Cronenberg tentunya tidak usah disangsikan lagi dalam penyajian sinematografisnya. Mungkin ini memang film di mana para aktornya begitu kuat presence mereka sehingga setting yang terbatas dan umumnya terjadi di dalam ruangan tidak terasa membosankan sama sekali. Bahkan ada beberapa scene seperti pada saat Jung berbicara dengan Freud di kapal yang jelas-jelas diambil di set sangat kental referensinya pada film-film drama klasik, bagi saya ini bagian paling menyentuh dan klimaks dari diskusi mereka.
A definitely must see for Jung and Freud fanboys and girls.

 

Review – Final Destination 5 (2011)


William Bludworth: ” Death Doesn’t Like to be Cheated “
Manusia itu memang mahluk aneh, lihat saja, kebanyakan dari mereka sebenarnya takut pada kematian, tapi ironisnya mereka juga terlihat begitu senang menonton manusia lain mati mengenaskan, bahkan kalau perlu untuk menambah kenikmatan menonton disajikan sedahsyat mungkin, dalam format 3D kalau perlu, ‘sakit’? Ya, memang kita ‘sakit’, dan pihak New Line Cinema tampaknya tahu benar bagaimana memanfaatkan fenomena ‘aneh’ itu untuk tetap kukuh dan begitu percaya diri melanjutkan wara laba horor supranatural terlaris mereka hingga instalemen yang kelima ini, tidak peduli banyak yang pesimis bahwa seri terbaru mereka ini akan bisa lebih baik dari para pendahulunya, toh, pada akhirnya semuanya tetap kembali ke masalah jumlah Dollar yang masuk.
Jadi apa saja yang ada dalam Final Destination 5? Pembukaan yang dimulai dengan ‘penampakan’ sebuah kecelakaan mengerikan? Ada, rentetan momen ‘pembunuhan’ sadis dan tak masuk akal oleh kematian yang tidak senang dicurangi? Ada,  3D? Ada, dan semakin hebat saja, para pemain muda cantik dan tampan? Ada, untuk bonusnya anda akan melihat sosok “Tom Cruise” mati konyol disini, oh, ya ada Tony ’Candyman’ Todd yang kembali hadir paska absen pada seri ke empatnya. Ya, seperti yang sudah-sudah tidak ada yang berubah drastis dalam seri ke limanya ini, Steven Quale sang sutradara masih setia memakai formula ‘usang’ yang masih terbukti sangat efektif untuk menghibur penontonnya dengan menampilkan lebih banyak lagi adegan kematian menyakitkan, cipratan darah dimana mana, dan potongan tubuh mengerikan dengan cara yang paling canggih, termasuk dengan memaksimalkan efek 3D nya yang terlihat makin yahud, lihat saja adegan awal yang melibatkan peristiwa runtuhnya sebauah jebatan, wow, itu keren, mungkin menjadi adegan pembuka terbaik dari seluruh franchise ini, dengan adegan kecelakaan jalan tol di seri kedua serta adegan roller coaster di seri ketiga berturut-turut berada dibawahnya.
Soal kualitas cerita, mengejutkan juga ketika mengetahui bahwa Final Destination 5  ternyata tidak sampai seburuk seri ke empatnya, setidaknya Eric Heisserer yang ditugaskan untuk mengodog naskahnya masih mampu menghadirkan sebuah kejutan hebat di endingnya, kejutan yang mampu menandingi rangkaian momen kematiannya dan kejutan yang juga secara tidak langsung akan menjelaskan wujud asli dari Final Destination 5. Apabila anda cukup jeli, akan ada banyak petunjuk yang tersebar di sepanjang kurang lebih satu setengah jam, termasuk beberapa referensi dari seri pendahulunya yang sedikit banyak akan menjawab endingnya nanti.
Menyenangkan mengetahui bahwa Final Destination 5 ternyata tidak seburuk perkiraan saya sebelumnya. Ya, selain masih menghadirkan kematian-kematian yang kreatif, canggih dan menghibur, termasuk bagaimana efek 3D nya yang mampu digarap dengan sangat baik, instalemen ke lima dari saga ‘mencurangi kematian’ ini rupanya juga menyimpan kejutan yang tak disangka-sangka di penghujung ceritanya, kejutan yang sedikit banyak telah mampu mengurangi cerita dan akting pemainnya yang lemah. So, Final Destination 6? Kenapa tidak.

Review – Man on a Ledge (2012)

Ini memang bukan sebuah momen yang manis. Ketika Ennis Del Mar (Heath Ledger) mendapati bahwa kekasihnya, Jack Twist yang (Jake Gyllenhaal) yang telah meninggal masih menyimpan baju kenangan mereka sewaktu bekerja di pegunungan Brokeback. Lalu disaat Ennis kemudian mencium baju itu sembari menangis, sayasampai  lupa kalau ini adalah sebuah gay romance.

Nick Cassidy: ” Today is the day when everything changes. One way or another “
Tidak ada metafora di judulnya, secara harafiah, dalam Man on a Ledge memang benar-benar ada pria yang sedang berdiri di pinggiran atap sebuah bagunan tinggi- Roosevelt Hotel, Manhattan dan tampaknya sudah bersiap-siap untuk melompat dari ketinggian 23 lantai, sementara di bawahnya sudah terjadi kepanikan luar biasa. Pria itu adalah Nick Cassidy (Sam Worthington) buronan yang baru saja kabur dari penjara. Tapi seperti yang di katakan Lydia Mercer (Elizabeth Banks), detektif yang ditunjuk Nick sebagai negosiator “ini bukan kasus bunuh diri biasa”, ia tidak percaya bahwa pria yang juga mantan polisi itu memang benar-benar berniat untuk terjun bebas dan mengakhiri hidupnya. Ada sesuatu yang tampaknya disembunyikan Nick, sebuah rencana besar yang melibatkan sang adik, Joey Cassidy (Jamie Bell) dan pacarnya (Genesis Rodriguez) yang sedang menunggu di gedung seberang.
Ada beberapa film yang mengharuskan penontonnya untuk menutup sebelah mata mereka -ini baru metafora- agar dapat merasakan hiburan di balik setiap kebodohan-kebodohannya, atau istilah lainnya gulity pleasure, salah satunya seperti thriller debut milik Asger Leth ini. Man on a Ledge sebenarnya punya daya jual cukup besar di balik premisnya yang ambisius itu. Menonton orang yang hendak bunuh diri itu sama nikmatnya seperti menonton sebuah thriller penculikan yang melibatkan proses negosiasi alot, ya, seperti versi lain dari The Negotiator-nya Samuel L. Jackson dan Kevin Spacey, tetapi sangat disayangkan, setelah pembukaannya yang menarik itu Man on a Ledge seperti terjun babas dan hancur berantakan di aspal ketika penonton kemudian mengetahui motif sebenarnya dari percobaan bunuh diri yang dilakukan karkater Sam Worthington.
Naskah yang ditulis Pablo Fenjves bisa dibilang terlalu sok pintar, padahal kenyataannya terlalu banyak kebodohan dan kekonyolan di dalamnya. Lihat saja beberapa kebetulan dan kejadian yang tidak masuk akal dalam ‘pekerjaan’ yang dilakukan pasangan Bell dan Rodriguez dialog-dialognya yang dangkal, belum lagi saya meyebut rentetan plot hole kasat mata yang berterbaran di sepanjang 102 menit durasinya. Untung saja Asger Leth masih mampu mengemasnya dengan baik, meskipun masih terlihat corny, tetapi Leth sukses menjaga kekonsitensian tensinya, menjaga setiap misterinya rapat-rapat dengan menyelipkan sedikit flashbcak hingga kemudian ia ‘meledakan’ satu-persatu hingga akhir nanati. Tugas utamanya untuk menjadikan Man on a Ledge sebagai sebuah thriller yang cepat, enjoyable dan menghibur untuk ditonton jelas sudah berhasil diembannya, tapi karena kertebatasan naskahnya, ia jelas tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Di sisi lain Leth juga terbantu dengan deretan cast kelas satunya yang bermain baik, kecuali Sam Worthington yang aktingnya masih tidak mampu berkembang. Ada Elizabeth Banks, Jamie Bell, Edward Burns, Titus Welliver, Anthony Mackie, William Sadler hingga Ed Harris yang meskipun tidak menawarkan perfoma luar biasa tapi sudah cukup untuk memberikan nyawa pada setiap karakter mereka.
Man on a Ledge, thriller dengan premis menarik, eksekusi yang tidak terlalu buruk dan deretan bintang-bintang besar, sayang ia harus dirusak dengan kualitas naskah meyedihkan. Yah, masih untung ia tidak berakhir membosankan, dan sekali lagi mungkin anda harus ‘menutup sebelah mata’ untuk benar-benar bisa merasakan segala kebodohannya yang menghibur itu.

Florence Cathcart: ” Without science people don’t believe in nothing “
Inggris, 1921, Florence Cathcart (Rebecca Hall) adalah penulis buku dan pemburu hantu handal yang selama ini sukses menjadi momok menakutkan bagi para penipu-penipu yang mengaku diri mereka cenayang. Florance sendiri adalah wanita cerdas namun skpetis, ia tidak pernah percaya dengan hal-hal berbau suprantural termasuk agama dan kepercayaan tentang hidup setelah kematian,  sampai kemudian ia kedatangan Robert Malory (Dominic West), guru dari sebuah sekolah asrama yang meminta bantuannya untuk meyelidiki kasus kematian misterius yang menimpan salah satu muridnya. Konon kematian bocah malang itu ada hubungannya  dengan kemuculan hantu anak kecil. Siapa sangka dalam misinya kali ini Florence akan mendapatkan pelajaran setimpal dan rahasia-rahasia mengerikan yang akan merubah hidupnya.
Skeptisme yang dihadirkan oleh karkater Rebecca Hall pada awal-awal film, setelah openingnya yang menarik itu sebenarnya sudah langsung dapat menggambarkan bagaimana narasi horor produksi Inggris ini akan bergerak. Dari luar The Awakening mungkin terlihat seperti kebanyakan horor mainstream lainnya. Premis tentang pemburu hantu yang mencari pembuktian tentang eksistensi mahluk halus yang lalu kena batunya sudah pernah ada sebelumnya, seperti 1408 salah satunya, tapi sedikit yang sepertinya mampu memberikan keseimbangan antara teror dan pendalaman psikologis karkaternya, kebanyakan hanya sibuk memfokuskan diri mereka untuk menakut-nakuti audiensnya dengan segala momen-momen mengerikan dan penampakan-penampakan dedemit menakutkan, dan The Awakening bersama Nick Murphy bisa dibilang mampu memberikan keseimbangan itu walaupun tidak sempurna.
Kalau mau jujur, horor produksi BBC Films ini sebenarnya tidak terlalu menakutkan,  setidaknya buat saya ia, tampak terlalu familiar, kejutan-kejutannya tampak terlalu teratur termasuk twist endingnya sendiri, seperti modifkasi dari yang pernah ada bahkan kita  sudah bisa melihat bagaimana ia akan berkahir dari kejauhan.  Mungkin hanya melihat bagaimana Floreance berkasi dengan segala peralatan retornyalah yang menjadikan The Awakening menarik dan tentunya juga konflik krisis keimanan dan psikologisnya,  tapi bagaimanapun saya menyukai bagaimana Murphy menugaskan sinematografer Eduard Grau mengambil setiap gambar-gambarnya yang tidak hanya terlihat suram dan mengerikan dengan pemilihan tone kelabunya saja, tapi secara bersamaan juga tampak cantik dengan segala penempatan angle kameranya yang tidak biasa untuk ukuran horor. Dan juga masih ada Rebecca Hall yang mampu tampil prima di sepanjang 107 menit membawakan karakter kompleks Florence, wanita dengan masa lalu suram yang menjadikan profesinya sebagai pelampiasan dan wadah untuk menghadapi ketakutan terbesarnya dan mencari jawaban dari banyak pertanyaan-pertanyaan tak terjawab dalam hidupnya.
The Awakening punya cukup kesimbangan antara teror horor rumah hantu dan drama psikologis yang jarang dimiliki kebanyakan horor lainnya, tidak sampai terlalu menakutkan memang, bahkan harus diakui penyelesainnya yang terkesan mindbending  itu juga termasuk dipaksakan, tetapi ketika Rebecca Hall mampu menghadirkan sebuah prenstasi karakter yang kuat dalam diri Florence Cathcart dengan performanya yang bagus yang sanggup menutupi beberapa kekurangan di dalamnya.

Review – We Bought a Zoo (2011)



Benjamin Mee: ” You know, sometimes all you need is twenty seconds of insane courage. Just literally twenty seconds of just embarrassing bravery. And I promise you, something great will come of it ”
Banyak cara yang dilakukan untuk dapat melupakan kedukaanmu, dari cara yang paling sederhana seperti membiarkan sang waktu menghapusnya  perlahan sampai cara yang paling aneh, membeli sebuah kebun binatang misalnya, seperti yang sudah dilakukan Benjamin Mee (Matt Damon), mantan penulis kisah-kisah petualangan di enam bulan paska kematian istri tercintanya. Putranya, Dylan (Colin Ford) yang bermasalah tidak setuju rencana Benjamin pindah ke rumah baru bahkan kakak laki-lakinya,  Duncan Mee (Thomas Haden Church) menganggap dirinya sudah gila menghabiskan warisan ayah mereka dengan cara sekestrem itu. Tapi Benjamin tentap tak bergeming, apa yang dilakukannya tidak hanya untuk membahagiakan putri kecilnya, Rosie (Maggie Elizabeth Jones) namun juga untuk memulai sebuah petulangan baru yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, tapi tentu saja itu tidak mudah.
We Bought a Zoo bisa saja berakhir menjadi drama keluarga medioker jika premis tidak biasanya itu tidak ditangani dengan hati-hati, untung ia punya Cameron Crowe yang mampu menjadikan memoir Benjamin Mee sebuah tontonan yang hangat, manis sekaligus menyentuh tanpa terkesan murahan. Plotnya bergerak sangat teratur dan bersahabat, tidak ada kejutan berarti layaknya kebanyakan film-film keluarga lainnya, ya, ketika melihat karkater Matt Damon sebagai single parent yang mengurus sendiri dua anaknya plus kehadiran hewan-hewan penghuni kebun binatang Rosemoor Animal Park yang diurus Scarlett Johansson kita tahu bahwa nantinya dengan segala konflik-konflik yang ada ia dipastikan akan berakhir bahagia tidak peduli seberapa kentalnya aroma kedukaan yang membungkusnya.
Subplot-subplot lain seperti romansa cinta monyet antara Colin Ford dan Elle Fanning dan Damon-Johansson mungkin sedikit dipaksakan, tapi tetap saja menyenangkan melihat usaha dua laki-laki dari keluarga Mee itu berusaha melanjutkan kehidupan mereka khususnya untuk karakter Damon yang termasuk paling susah melupakan bayangan cantik istrinya walaupun dari luar ia tampak yang paling tegar. Ada salah satu adegan menyentuh dimana Damon tak kuasa untuk melanjutkan melihat foto-foto istrinya yang digambarkan dengan sangat manis oleh Crowe. Ya, Damon bermain bagus sebagai orangtua tunggal dan begitu juga para staff Rosemoor Animal Park yang tampak kompak, tapi buat saya yang spesial adalah penampilan mengemaskan Maggie Elizabeth Jones sama spesialnya ketika Crowe menunjuk frontman band Isnlandia Sigur Ros, Jón Þór Birgisson untuk menangani musiknya, dan hasilnya memang luar biasa, scoringnya Birgisson dan soundtrack-soundtrack lainnya begitu emosional membungkus setiap momen-momen di dalamnya, termasuk lagu Gathering Stories yang ditulis Crowe dan Birgisson sebagai penutup film.
Premisnya menarik untuk sebuah family movie, plotnya bersahabat untuk ditonton semua umur. Crowe sudah berhasil membuat sebuah drama keluarga yang manis, inspirasional, hangat dan begitu menyentuh dibalik setiap kehilangan, di balik setiap keberanian untuk merenovasi kebun binatang, di balik sebuah petualangan baru bertemu dengan orang-orang baru yang menyebuhkan luka lama untuk hari esok yang lebih baik.

Review – Dr. Seuss’ The Lorax (2012)



Once-ler: ” Unless someone like you cares a whole awful lot, nothing is going to get better, it’s not “
Kehidupan Thneed-Ville terlihat begitu indah dan sempurna, lihat saja ketika para warganya menyanyi dengan riangnya pada awal-awal film, bahkan sangking bahagianya, mereka tidak sempat lagi memikirkan ke mana perginya pohon-pohon yang posisinya telah digantikan dengan bahan-bahan plastik dan artifisial lainnya. Lalu dari mana datanganya udara segar yang biasa di hasilkan oleh para pohon? Ada pengusaha sekaligus walikota rakus, Aloysius O’Hare (Rob Riggle) yang memasoknya dalam kemasan galon “O’Hare Air“, tapi tentu saja warga Thneed-Ville harus membayarnya. Tapi ketika Ted Wiggins (Zac Efron) yang berusaha mencari perhatian tetanggannya yang cantik, Audrey (Taylor Swift) maka petulangan mencari satu-satunya pohon terisa, bertemu dengan Once-ler (Ed Helmes) dan penjaga hutan, The Lorax (Danny DeVito) pun di mulai.
The Lorax adalah karya ke empat penulis cerita anak populer, Dr. Seuss yang telah dibuatkan film panjangnya setelah sebelumnya sudah ada How the Grinch Stole Christmas and The Cat in the Hat dan Horton Hears a Who! Ini juga menjadi film kedua dari studio animasi baru,  Illumination Entertainment paska kesuksesan debut animasi mereka, Despicable Me dua tahun lalu di bawah bendera Universal yang kali ini juga melakukan debut logo 100 tahun mereka. Oke, cukup sedikit trivianya, langsung saja, saya pribadi tidak terlalu menyukai The Lorax, meskipun ia sedikit lebih baik dari The Cat in the Hat yang buruk itu tapi masih lebih menarik melihat kisah moster hijau jelek yang mencuri natal atau kisah seekor gajah yang mendegar suara-suara aneh atau cerita tentang penjahat besar yang ingin mencuri bulan entah karena faktor keduanya kebetulan dimainkan oleh Jim Carey atau karena memang kisahnya lebih enak diikuti buat saya sebagai penonton dewasa ketimbang melihat ceramah politis tentang global warming dan pentingnya menjaga kelestarian alam yang pesannya sudah terlihat begitu gamblang sejak menit-menit awal yang sepertinya hanya berfek besar buat penonton anak-anak.
Ya, The Lorax memang terlalu kekanak-kanakan. Setuju ia punya pesan yang bagus buat para generasi muda untuk menjaga kesinambungan alam mereka, saya juga suka bagaimana Illumination Mac Guff, studio yang bermarkas di Perancis itu membungkusnya dengan kualitas animasi cantik dan colorfull lengkap dengan karakter-karakternya yang lucu nan imut, bahkan 3D-nya juga tidak buruk, dan juga tidak ada yang salah bagaimana duet Chris Renaud – Kyle Balda menyajikannya dengan sedikit sentuhan musikal di dalamnya, yang salah bisa jadi adalah naskah yang ditulis Ken Daurio dan Cinco Paul, bukan masalah bagaimana mereka sudah memodifikasinya sana-sini, membuat karakter The Lorax yang semestinya menjadi tokoh sentral mendapat porsi lebih sedikit ketimbang tokoh Ted. Tapi yang menjadi persoalan adalah plotnya yang terlalu lurus, khususnya untuk penonton dewasa, efeknya bisa membosankan terlebih ketika homor-humor di paruh pertamanya yang menghibur itu sudah tidak lagi terlalau lucu ketika menginjak pertengahan film hingga kemudian ia berakhir klise.
Tentu saja banyak cerita-cerita dari Dr. Seuss yang menarik ketika di adaptasi ke dalam format gambar bergerak, tapi  The Lorax mungkin tidak termasuk yang berkesan dan akan diingat lama walaupun dari segi pendapatan box-officenya termasuk bagus untuk film animasi yang ‘hanya’ berbiaya 70 juta Dollar (Bandingkan dengan animasi-animasi Pixar atau Dreamworks). Ya, audiens kecilnya mungkin tidak terlalu memperdulikan pesan tentang kelestarian alamnnya karena mereka bisa jadi terlalu sibuk melihat gambar-gambar animasi  lucu dan penuh warna, maka tugas orangtua yang menmani merekalah yang kemudian mejelaskan, itu juga kalau mereka tidak ketiduran karena bosan.

Review – Chico & Rita (2010)


Rita: ” Future, what future? The future never gave me anything! All my hopes are set on the pas “
Untuk ukuran animasi sederhana yang sepintas visualnya terlihat bak buku mewarnai anak-anak TK, Chico & Rita mampu tampil mengesankan. Rahasianya ada pada premisnya yang dewasa, sedikit banyak sudah mengingatkan saya pada Persepolis (2007) dan Waltz with Bashir (2008). Tapi tidak seperti  pada dua koleganya sesama peraih nominator OscarChico & Rita  tidak menyajikan politik dan perang sebagai medium berceritanya, ia lebih sederhana, berbicara soal cinta dari dua karakter yang dijadikan tajuknya, Chico dan Rita.
Mengambil tempat di Havana, Kuba pada tahun 1948. Adalah Chico, pianis muda yang langsung jatuh hati pada pandangan pertama kepada Rita, seorang penyanyi klub malam. Tapi kisah cinta mereka tidak pernah mudah. Di sepanjang film dari eksotisnya Havana, dinginnya New York, cantiknya Paris sampai Las Vegas yang gemerlap kita akan menjadi saksi bagaimana pahit-manisnya kisah cinta mereka selama 60 tahun.
Chico & Rita dibalut dengan kombinasi animasi colorfull yang unik dan sebuah balada cinta depresi atau istilah latinnya di sebut dengan Bolero, membuatnya menjadi sebuah perpaduan menarik. Jelas bukan tontonan anak-anak dengan segala unsur nudity, seks, percintaan dan sedikit politik yang menghiasi narasinya. Animasi produksi spanyol pemenang Goya Award (Oscarnya Spanyol)  ini mungkin akan terlhat biasa jika saja duo sutradaranya,  Fernando Trueba dan Javier Mariscal menyajikannya dalam bentuk live action ketimbang animasi. Ya, kisah cinta depresi periodik,  ketenaran dan permainan takdir dari dua anak manusia, gambar-gambar ceria plus iring-iringan lagu dan musik jazz latin dan Anglo Saxson membuat Chico & Rita menjadi terasa begitu seksi dan  menyengarkan, sayang, imbas dengan pengunaan gaya animasi seperti ini membuat saya sulit untuk merasakan kekuatan chemistry dan emosi dari karakter-karakternya, semunya terlihat flat, tidak peduli seberapa pahit kisahnya, belum lagi beberapa momen repetitif yang membuatnya terasa sedikit membosankan, untung saja ia masih punya ending yang bagus.
Chico & Rita itu animasi yang jarang ada. Perpaduan manis antara romansa dewasanya yang manis-phait, parade soundtrack-nya yang menawan serta penyajian animasinya yang tidak biasa menjadikannya istimewa. Mungkin ia akan sedikit membosankan dengan beberapa adegan yang seperti berulang-ulang dan tanpa emosi yang kuat dari penampilan karakter utamanya, tapi secara keselurhan duet Fernando Trueba dan Javier Mariscal bisa dibilang sudah membuat sbeuah animasi yang bagus dan sekali lagi juga membuktikan bahwa kamu bisa melakukan apapun dalam animasi, termasuk cerita cinta paling erotis sekalipun.

Review – John Carter (2012)


John Carter: ” Good God…I’m on Mars “
Apa yang sedang dilakukan mantan kapten perang konfederasi di tempat yang jauhnya 80 juta kilometer dari kediamannya di Virginia ? Seperti belum cukup dengan perang saudara yang sudah pernah dilewatinya di bumi, John Carter (Taylor Kitsch) kini secara misterius harus terdampar di Mars, terjebak dalam peperangan lain yang jauh lebih besar dan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, pertikaian hebat antara dua bangsa penghuni planet merah itu, Helium dan Zodagan serta tidak ketinggalan pertemuannya dengan spesies alien hijau setinggi 9 kaki bertangan empat- Thark yang nantinya akan membuat hidup Carter berubah selamanya.
Mars atau di sini disebut Barsoom, planet ke empat di tata surya yang gersang itu seakan-akan sudah menjadi tempat bermain favorit para sineas Hollywood ketika mereka ingin membuat sebuah epik petualangan fiksi ilmiah luar angkasa, dan salah satu yang paling anyar adalah Disney dengan Andrew Stanton-nya yang sebelumnya pernah menghadirkan Finding Nemo dan Wall-E. Tapi ini jelas bukan lagi tipe kisah anak-anak macam ikan badut yang mencari anaknya atau romansa robot sampah, bahkan John Carter sendiri sama sekali bukan sebuah animasi, ia adalah live action dari seri novel klasik populer milik Edgar Rice Burroughs,  A Princess of Mars yang sudah berusia satu abad 2012 ini, jadi tentu saja saya penasaran  bagaimana sepak terjang Stanton kali ini dengan track record-nya sebagai nahkoda dua film animasi top Disney itu? Apakah ia mampu selihai koleganya, Brad Bird yang sukses menukangi Mission Impossible: Ghost Protocol akhir tahun lalu itu?
Kalau mau jujur, sesungguhnya tidak ada yang terlalu istimewa dari 132 menit John Carter, meskipun tidak sampai berakhir buruk. Kita sudah sering melihat ini sebelumnya, sebuah kisah tentang  manusia bumi yang menjadi pahlawan dengan imbuhan intrik-intrik cinta serta takdir, seperti menonton versi lain Avatar-nya James Cameron, sedikit Prince of Persia: The Sands of Time dan saga Star Wars, lengkap dengan segala pernak-pernik, green Screen dan CGI super canggihnya serta penampakan-penampakan moster-monster plus alien yang spektakuler. Yap, untuk bagian teknis ini Stanton sudah mengerjakan tugasnya dengan baik, menyulap padang pasir Utah menjadi hamparan Mars yang tandus, menghadirkan kombinasi teknologi tradisional dan canggih, adu pedang, peperangan serta adegan-adegan aksi akrobatik dari John Carter yang memanfaatkan daya gravitasi lemah Mars yang kemudian dibungkus dengan iring-iringan scoring penuh semangat Michael Giacchino, ya, menghibur, apalagi anda memang penggemar sci-fi luar angkasa, tapi untuk sebuah film besar yang sudah berbiaya 250 juta Dollar, Stanton seperti sudah membuang percuma banyak Dollar yang diberikan kepadanya karena jujur meskipun terlihat ‘wah’ tapi rangkaian momen-momen aksinya hanya meninggalkan efek ‘sementara’ yang dengan mudah anda lupakan ketika film ini berkahir, dan jangan tanya bagaimana soal kualitas 3D konversinya yang buruk itu.
Dan berbicara soal kualitas naskah, apa yang sudah dibuat oleh Stanton yang dibantu oleh Mark Andrews dan Michael Chabon dalam mengadaptasi kisah Burroughs itu bisa dibilang tidak berjalan terlalu bagus. Dengan durasi yang cukup lama seharunya Stanton bisa membuatnya jauh lebih baik lagi. Saya tidak pernah mempermasalahkan soal apakah narasnya mirip dengan kisah film lain, tapi kurangnya kedalaman serta terdapat beberapa bagian yang terkesan terlalu cepat dan mudah diselesaikan serta membosankan,  menjadikan John Carter menderita cukup besar di bagian satu ini, termasuk juga Taylor Kitsch yang meskipun secara fisik sudah pas memerankan karkater John Carter, tapi ia tidak punya cukup pesona untuk membuat perannya ini akan selalu diingat dalam waktu lama, tidak peduli ketika Stanton sudah memberi karakternya  sisi gelap atau romansanya dengan dengan Dejah Thoris si Putri Helium yang dibawakan oleh aktis cantik Lynn Collins, karena bagian-bagian itu tidak pernah hadir dengan porsi yang kuat.
Jelas bukan petualangan fiksi ilmiah antariksa terbaik yang sudah pernah saya tonton. Naskahnya lemah, CGI super mewah yang sayangnya tidak terlalu berkesan, akting pas-pasan, humor garing dan 3D yang buruk menjadikan John Carter tidak lebih seperti sebuah sci-fi medioker Disney dengan budget luar biasa yang sulit untuk bisa dikenang lama. Yah, untung saja secara keselurhan ia masih tergolong menghibur dan meyenangkan untuk ditonton, apalagi jika anda termasuk salah satu penonton yang sudah rindu dengan elemen-elemen sci-fi klasik.

Iklan oleh Google


www.kapanlagi.com/Jutaan foto artis ada di KapanLagi Mau yang panas apa yang dingin?
www.analyrics.com/lyricsAnalyze Film indonesia ! Incredible numbers about Lyrics
www.video-lyrics.com/Looking for Film Indonesia? Film Indonesia in One Site!
Jujur saja, sungguh tidak mudah untuk menentukan sisa 10 film yang layak masuk jajaran 20 best twist and shocking endings terbaik versi Movienthusiast. Bukan hanya karena jumlahnya cukup banyak, tapi juga nyaris semuanya  memiliki kualitas twist ending yang kurang lebih sama, sama-sama luar biasa dan mecengangkan. Namun pada akhirnya pilihan tetap harus dijatuhkan,  dan inilah bagian kedua sekaligus penutup dari rangkaian 20 Best Twist and Shocking Movie Endings versi kami. Enjoy! :D
————————————————————————————
11. Primal Fear | 1996 | USA | Gregory Hoblit
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Pengacara sukses, Martin Vail (Richard Gere) tidak pernah menyangka bahwa kasus pembunuhan terhadap seorang Uskup Agung yang menyeret seorang putra altar lugu, Aaron Stampler (Edward Norton) ternyata tidak semudah yang ia bayangkan sebelumnya. Membawanya ke dalam sebuah konflik rumit sekaligus memukul telak kesombongannya.
The Shocking End: Tidak hanya satu, tapi ada 2 momen mengejutkan disini yang siap menghentak anda. Pertama penonton diajak untuk mempercayai bahwa Aaron memiliki kepribadian ganda yang juga diyakini Martin sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Dan pada akhirnya sebuah fakta mengejutkan pun seakan-akan menampar telak penontonnya. Tidak ada yang namanya mulitiple personality, semua itu hanya rekayasa Aaron untuk mempermainkan semua orang, termasuk pengacaranya sendiri. Dan Aaron memang adalah pelaku pembunuhan selama ini yang ironisnya berhasil lepas dari jeratan hukum karena bantuan Martin yang selama ini percaya kepadanya.
———————————————————————————–
12. No Mercy | 2010 | S. Korea | Kim Hyeong-Jun
 
Twist’ O Meter: *****
Plot: Ahli forensik kondang yang juga seorang dosen kriminologi, Kang Min-Ho’ (Seol Kyeong-gu) bersama mantan muridnya, Detektif Min Seo-yeong (Han Hye-jin) ditugaskan untuk memecahkan kasus pembunuhan sadis disertai mutilasi dengan korban seorang perempuan muda. Melalui berbagai petunjuk-petunjuk yang ditemukan pada tubuh korban dan TKP, penyelidikan kemudian menghadirkan Lee Seong-ho (Seung-beom Ryu), seorang aktifis lingkungan hidup sebagai tersangka utama. Menariknya, Lee Seong-ho sama sekali tidak menyangkal perbuatan kejam yang dilakukannya, bahkan sepertinya pria pincang satu ini menyembunyikan sesuatu, sebuah rencana besar penuh kejutan yang tak terlupakan bagi ahli forensik kita.
The Shocking End: Mungkin banyak penonton yang dengan mudah menebak bahwa pada akhirnya putri Kang Min-Ho yang diculik akan ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa, namun bukan itu yang membuat thriller Korea Selatan satu ini pantas masuk jajaran twist ending terbaik, melainkan fakta bahwa dari awal, sejak dari pertama Lee Seong-ho memang tidak pernah berniat mengembalikan putri petugas forensik itu hidup-hidup. Eits, tapi bukan hanya itu saja kejutannya. Di saat Min-Ho menemukan putrinya yang sudah meninggal itu dalam peti kaca berisi ribuan mawar, dan kemudian ia  hendak mengendongnya untuk membawanya pulang, alangkah tersentaknya ia mengetahui bahwa tubuh putrinya itu sudah tidak lagi utuh, meninggalkan kepala, kedua tangan dan kaki tanpa badan. Dan melalui rangkaian flashback diketahui bahwa tubuh yang disangka korban lain di awal film di otopsinya ternyata adalah tubuh putrinya sendiri yang sengaja ditukar oleh Lee Seong-ho.
—————————————————————————————–
13. Se7en | 1995 | USA | David Fincher
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Detektif veteran William R. Somerset (Morgan Freeman) dan patner barunya, Detektif David Mills (Brad Pitt) terlibat dalam  penyelidikan sebuah kasus pembunuhan berantai sadis dengan bermodus oprandikan 7 dosa mematikan, seven deadly sins.
The Shocking End: 10 menit terakhir Se7en bisa jadi adalah momen paling mengejutkan sekaligus menyesakan,  ketika John Doe (Kevin Spacey) membawa dua detektif kita ke sebuah gurun pasir. Sementara itu disaat bersamaan datanglah  sebuah van yang mengantarkan paket. Paket yang ternyata berisi kepala Tracy (Gwyneth Paltrow), istri David yang  sengaja dikirimkan Doe guna melengkapi masterpiece-nya, dua dosa terakhir, “Envy” (cemburu) dan “Wrath” (Murka).
——————————————————————————–
14. Psycho | 1966 | USA | Alfred Hitchcock
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Sudah seminggu lamanya Lila Crane (Vera Miles) tidak mengetahui keberadaan sang adik, Marion (Janet Leigh) yang tanpa kabar apapun menghilang begitu saja. Lila kemudian meminta bantuan Milton Arbogast (Martin Balsam), detektif swasta untuk melacak dimana Marion berada. Penyelidikan yang dilakukan Arbogast mengantarnya ke sebuah motel kecil  yang terletak di pinggir kota milik Norman Bates (Anthony Perkins).
The Shocking End: Psycho salah satu karya klasik Hitchcock terbaik ini bisa jadi  pelopor twist ending berbasis multiple personality disorder alias kepribadian ganda. Ya, siapa yang menyangkan bahwa sosok perempuan misterius pembunuh yang selama ini kita kira adalah Ibu Norman adalah Norman sendiri. Jadi kemana ibu Norman sebenarnya? Tentu saja sudah meninggal dan yang mengerikan lagi adalah Norma tetap menyimpan mayat ibunya itu di kamar, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Sakit!
———————————————————————————-
15. Match Point | 2005 | USA |Woody Allen
 
Twist’O Meter: ***
Plot: Kehidupan mantan pemain tennis profesional Chris Wilton (Jonathan Rhys Meyers) berubah drastis seketika disaat ia bertemu, berkenalan dan menikahi Chloe (Emily Mortimer), adik perempuan dari sahabatnya, Tom Hewett (Matthew Goode) yang berasal dari keluarga kaya raya di London. Namun Chris terancam kehilangan segala yang dimilikinya ketika  membiarkan dirinya terlibat perselingkuhan dengan seorang wanita cantik, Nola Rice (Scarlett Johansson) yang juga mantan kekasih Tom.
The Shocking End: Disaat Chris merasa hubungannya dengan Nola akan memberikan dampak buruk buatnya, Ia kemudian memutuskan untuk melakukan sebuah tindakan drastis dan juga gila. Dengan ‘meminjam’ shotgun milik mertuanya, Chris kemudian mendatangi apartemen Nola, menembak mati seorang wanita tua yang juga tetangga Nola, dan membuatnya seakan-akan kerjaan perampok dengan mengambil perhiasannya, lalu ia juga menembak Nola. Nah, yang menarik adalah bagaimana Chris kemudian bisa lolos dari jeratan hukum yang jelas-jelas akan mengarah  kepadanya, semuanya tidak lain  karena campur tangan sesuatu yang bernama “keberuntungan”. Ya, sedikit saja ia menyentuhmu, maka segalanya akan berubah.
———————————————————————————–
16. The Life of David Gale | 2003 | USA | Alan Parker
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Suatu hari Bitsey Bloom (Kate Winslet) yang berprofesi sebagai wartawan ini diminta bantunnya oleh David Gale, seorang tahanan hukuman mati untuk menuliskan kisah hidupnya. Dalam perbicangannya dengan Bitsey, David menceritakan segalanya, mulai dari awalnya ia dituduh melakukan pelecehan seksual oleh muridnya sendiri sampai akhirnya ia harus berakhir di balik terlali besi sebagai pesakitan yang menunggu ajal karena dituduh membunuh Constance Harraway (Laura Linney), rekannya sesama aktivis anti hukuman mati. Dalam perbicangan tersebut Bitsey rupanya  yakin bahwa tidak David bersalah, dan kemudian di dorong oleh rasa iba Bitsey pun berusaha untuk menyelamatkan David dari hukuman mati.
The Shocking End: Pada akhirnya apa yang terjadi sebenarnya adalah David memang tidak melakukan pembunuhan tersebut, namun ia dan Constance lah yang telah merencanakan segalanya dari awal. Constance yang selama ini dikira menjadi korban pembunuhan ternyata menghabisi nyawanya sendiri dengan membuat kejadian tersebut seakan-akan dilakukan David. Dan Bitsey rupanya juga telah dimanfaatkan David sedemikian rupa untuk menyampaikan pesannya, pesan bahwa hukum yang selama ini di agung-agungkan ternyata juga malah membunuh orang yang tidak bersalah.
————————————————————————————
17. Fight Club | 1999 | USA | David Fincher
Twist’ O Meter: ****
Plot: Pertemuannya secara tidak segaja dengan selesman sabun Tyler Durden (Brad Pitt) membuat hidup seorang pegawai kantoran pengidap Insomnia (Edward Norton) berubah drastis. Keduanya kemudian bersahabat dan membentuk sebuah perkumpulan anti-sosial bawah tanah yang dinamakan “Fight Club”
The Shocking End: There is no Tyler Durden. Yap, Di sepanjang film Fincher benar-benar lihai menutupi rahasia besar ini kepada penontonnya, membuat kita percaya kalau mereka memang adalah dua manusia yang berbeda, namun pada kenyataanya Tyler Durden hanya hasil dari imajinasi si pegawai kantoran, sisi liarnya, hasil dari dissociated personalities akibat Insomnia yang berkepanjangan
—————————————————————————————-
18. Memento | 2000 | USA | Christpoher Nolan
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Leonard Shelby (Guy Pearce) menderita apa yang disebut dalam istilah medis anterograde amnesia atau short term memory loss atau ketidakmampuan otak untuk menyimpan ingatan baru. Seteiap kali mantan penyelidik asuransi ini terbangun dari tidurnya ia hanya mampu mengingat peristiwa terakhir sebelum ia kehilangan kemampuan untuk mengingat. Peristiwa di mana istrinya juga tewas dibunuh. Setelah peristiwa tragis itu, Leonard dengan segala kekurangan yang dimilikinya itu mengisi hari-harinya untuk menyelidiki siapa pembunuh istrinya dan membalaskan dendamnya.
The Shocking End: Apa yang terjadi sesungguhnya adalah istri Leonard tidak pernah mati terbunuh dalam peristiwa perampokan itu, Leonard lah yang ‘membunuh’ istrinya sendiri dengan menyuntikan dosis insulin berlebih.   Tidak tahan menerima kenyataan  pahit yang ada, Leonard kemudian menipu dirinya sendiri agar ia tetap memiliki ‘tujuan hidup ‘-mencari pembunuh istirinya- dengan menuliskan pesan kepada dirinya sendiri untuk tidak pernah mempercayai perkataan orang lain tentang apa yang terjadi sebenarnya, meskipun ironisnya apa yang dikatakan  orang tersebut itu benar adanya.
——————————————————————————————
19. A Tale of Two Sisters | 2003 | S.Korea | Jee-woon Kim
 
Twist’ O Meter: ****
Plot: Su-mi (Im Soo Jung) yang baru saja keluar dari pusat rehabilitasi kejiwaan di bawa ayahnya pulang kembali ke rumah mereka dengan ditemani adik perempuannya, Su-yeon (Moon Geun Young). Di rumah tersebut kehadiran mereka sudah di tunggu oleh ibu tiri mereka yang jahat dan obsesif. Bukan hanya itu saja, kedua kakak beradik ini juga harus berhadapan dengan kenangan masa lalu yang pedih dan penampakan-penampakan hantu yang menganggu.
The Shocking End: Belakangan diketahui bahwa Su-yeon dan ibu tirinya tidak pernah ada di rumah itu di sepanjang film berlangsung. Kehadiran mereka hanya efek dari penyakit mentalnya yang kambuh. Adik perempuannya itu telah meninggal beberapa waktu yang lalu disaat ia tanpa sengaja tertimpa lemari sewaktu ingin mencoba menolong ibu kandung mereka yang mati bunuh diri di lemari tersebut. Nah, pada saat kejadian tesebut si ibu tiri sebenarnya bisa saja menyelamatkan Su-yeon namun rupanya ia memilih untuk pergi begitu saja. Sejak saat itulah Su-mi mengidap gangguan jiwa yang disebut dissociative identity disorder.
———————————————————————————————-
20. The Prestige | 2006 | USA | Christopher Nolan
 
Twist’ O Meter: ******
Plot: Bersetting Ingrris pada era Victoria, dua orang pesulap hebat, Alfred “The Professor” Borden (Christian Bale) dan Robert “The Great Danton” Angier (Hugh Jackman) saling berkompetisi untuk mempersembahkan pertunjukan sulap terehebat. Masalahnya mereka kerap saling melakukan sabotase satu sama lain untuk menjatuhkan reputasi masing-masing. Semuanya tidak terlepas dari peristiwa masa lalu, di saat keduanya masih saling bersahabat dan melakukan pertunjukan bersama, namun pertemanan itu pecah ketika pada suatu pertunjukan Borden secara tidak sengaja meyebabkan istri Angier tewas.
The Shocking End: ” Are You Watching Closely? ” Ya, dalam salah satu karya terbaiknya ini Nolan seakan-akan menantang penontonnya untuk memperhatikan secara seksama apa yang sebenarnya terjadi. Dan pada klimaksnya Nolan memberikan rentetan twist cerdas berlapis nan mecengangkan seperti trik ‘ Transported Man ‘ milik Borden yang tidak disangka-sangka ternyata menggunakan bantuan saudara kembar identiknya yang selama ini menyamar menjadi Milton, asistennya untuk menjalankan tipuan hebat tersebut, mengungkap misteri kehidupan dan percintaan Borden yang akhirnya diketahui baik Milton maupun Borden ternyata mencintai dua orang yang berbeda, dan bagaimana Angier menjebak Borden  dengan tipu muslihatnya sampai akhirnya Borden ditangkap dan dihukum mati, namun Angier sendiri terkejut bukan main ketikan Borden yang seharusnya sudah mati di tiang gantungan tiba-tiba muncul dihadapannya dan kemudian menembak dirinya. Ya,  Angier tidak pernah mengetahui bahwa Borden selama ini memiliki saudara kembar. Wow, what a twist!.

Review – Sucker Punch (2011)

Sweet Pea: Who Honors those we love for the very life we live? Who sends monsters to kill us… and at the same time sings that we’ll never die? Who teaches us what’s real… and how to laugh at lies? Who decides why we live and what we’ll die to defend? Who chains us… and who holds the key that can set us free? It’s you. You have all the weapons you need. Now fight!
Sejak kemuculan traillernya tahun lalu Zack Snyder bersama Sucker Punch-nya sudah berhasil membuat saya dan mungkin jutaan pasang mata moviegoers lain tercengang melihat bagaimana spektakulernya adegan-adegan aksi dalam cuplikan bakal film action fantasy yang disebutnya sebagai ‘Alice in Wonderland dengan senjata mesin itu’. Tentu saja harusnya saya tahu bahwa trailler itu adalah ‘racun’ yang berefek samping melambungnya ekpektasi saya secara berlebihan, membayangkan bagaimana akan dahsyatnya versi penuhnya nanti jika traillernya saja sudah seperti itu. Lihat saja, lima gadis muda cantik, tangguh nan seksi dengan persenjataan lengkap memporak porandakan ratusan tetara zombie Nazi, menghindari semburan api dari naga raskasa, melakukan penyergapan di sebuah kereta api penuh dengan robot-robot cybernetic masa depan, menghindari muntahan peluru dari gatling gun para samurai iblis, dan semua itu seperti biasa dipoles dengan balutan spesial efek mengkilat ala Synder, wow! Sutradara macam apa yang bisa menggabungkan segala imanjinasi liar tersebut dalam satu film? Tentu saja itu semua bayangan saya sebelum menonton versi utuhnya, sayang pada kenyataannya apa yang kemudian tersaji membuat saya terbanting keras kembali ke bumi serta mendapati sebuah fakta bahwa Snyder hanyalah manusia biasa dan Sucker Punch adalah ‘dosa’ pertamanya.
Berbicara soal menghadirkan film-film aksi keren berkualitas tidak bisa dipungkiri Snyder memang jagonya, lihat saja track record mulusnya itu dari debutnya Dawn of The Dead, 300 sampai yang terakhir, Legend of the Guardians: The Owls of Ga’Hoole 2010 lalu, semuanya tergolong memuaskan termasuk dari segi pendapatan box-office nya. Nah, masalahnya Sucker Punch ini menjadi kasus yang spesial karena untuk pertama kalinya Snyder menulis sendiri ceritanya tanpa campur tangan George Romero, Frank Miller, Alan Moore dan Kathryn Lasky, hanya dibantu seorang Steve Shibuya , sayangnya usahanya kali ini malah membuktikan bahwa Synder untuk sementara masih belum berbakat dalam urusan storytelling.
Kisahnya sendiri sebenarnya cukup menarik, walaupun tidak menawarkan sesuatu yang orisinil. Seperti melihat versi ‘kelas dua’ dari naskah Inception milik Nolan yang rumit itu, termasuk didalamnya meyuguhkan beberapa lapis dunia imajinasi. Semuanya bermula ketika Snyder memperkenalkan kita pada Babydoll  (Emily Browning), seorang gadis muda malang yang baru saja kehilangan ibu dan adik kandungnya. Tidak hanya itu Ia kemudian dikurung ayah tirinya di sebuah institusi mental, Lennox House. Di tempat itu ia bertemu dan mengajak pasien lain seperti Amber (Jamie Chung), Blondie (Vanessa Hudgens), serta kakak beradik Rocket (Jena Malone) dan Sweet Pea (Abbie Cornish) untuk kabur dari rumah sakit jiwa yang dikuasai oleh Dr. Vera Gorski (Carla Gugino) dan salah satu perawatnya, Blue Jones (Oscar Isaac) sebelum semuanya terlambat.
Ok, kisah Sucker Punch memang terlihat seperti sebuah dongeng Alice di negeri ajaib dengan sentuhan klasik-modern, sayang seperti yang sudah saya singgung diatas Snyder sepertinya mementingkan bagaiaman filmnya ini terlihat cantik ketimbang memikirkan substansinya. Ia  tidak mau terlalu ambil pusing dengan segala tetek bengek proses perkembangan cerita, termasuk bagaimana dan mengapa semua terjadi, atau mengekslporasi lebih dalam masing-masing karakternya yang semestinya berpotensi menjadi bagian yang menarik. Ya, terlalu banyak lubang sana-sini disepanjang kurang lebih 2 jam, semuanya seperti disajikan mentah-mentah kepada penontonnya, lalu dengan ‘seenaknya’ dan seabsurdnya Synder  berulang-ulang mengajak kita melompat lompat antara dunia nyata dan dunia fantasi jelmaan imajinasi Babydoll dengan cara yang tidak elegan (mengganti tarian dengan imanjinasi berisi petualangan liar), termasuk dengan menurunkan rating film ini dari ‘R’ menjadi ‘PG-13′ yang secara tidak langsung sudah menjadikan kisah Sucker Punch bak sebuah dongeng anak-anak yang manis.
Mari kita tinggalkan dulu naskahnya yang buruk itu, masuk ke bagian paling menyenangkan di film ini yaitu tidak lain dan tidak bukan rangkaian adegan aksinya yang ironisnya semuanya tidak nyata melainkan hanyalah bagian dari khayalan tak terbatas Babydoll dalam usahanya untuk menemukan kepercayaan dirinya dan gambaran absurd dari usaha kelima gadis itu merencakan pelarian mereka. Tentu saja anda harus mau menutup sebelah mata untuk dapat menikmati bagian satu ini yang banyak diisi oleh adegan aksi tanpa otak. Tidak tanggung-tanggung. seperti biasa Synder menyajikannya dengan megah, indah, overdramatis dengan limpahan spesial efeknya yang tidak hanya spektakuler dilihat namun juga dahsyat terdengar, termasuk pengeksploitasian habis-habisan pengunaan bluescreen effect untuk menciptakan latar belakang rangkaian dunia fantasi liar tanpa batas. Saya juga menyukai bagaimana setiap soundtracknya mampu melebur dengan manis dalam setiap adegannya. menjadikan  Sucker Punch terlihat bak sebuah video klip musik panjang, lihat saja bagaiamana iring-iringan “Sweet Dreams (Are Made of This)” yang dibawakan oleh Browning mengalawi prolog film ini, atau “Army of Me” dari Bjork dengan irama techno menghentak itu bekerja begitu baik menemani adegan pertarurangan antara Babydoll dengan para samurai iblis  setinggi 12 kaki itu, atau bagaimana Synder menggambarkan masing-masing karakter utamanya dengan penampilan ala jagoan-jagoan perempuan di video game Jepang yang keren dan tidak biasa itu. Sayang karena benturan ratingnya yang ‘bersahabat’, kita tidak bisa menyaksikan semburan darah segar yang bisanya kerap kali menghiasi film-film Synder sebelumnya.
Sucker Punch adalah proses bagaimana seorang Zack Synder mencoba melangkah lebih jauh dengan menghadirkan sendiri dongeng buatannya. Ya, memang ceritanya tidak sebagus momen aksinya yang spektakuler, namun bagaimanapun harus saya akui Synder sudah berani menghadirkan sugguhan aksi fantasi tidak biasa, yang sekarang dibutuhkannya hanyalah belajar menulis naskah yang lebih baik, kalau perlu bergurulah pada Christopher Nolan.

Review – Quarantine 2: Terminal (2011)


” A plane is taken over by a mysterious virus. When the plane lands it is placed under quarantine. Now a group of survivors must band together to survive the quarantine “

Seperti yang sudah kita ketahui, kemunculan dan kesukesan [REC], mocku horror produksi Spanyol 2007 lalu itu memang berimbas dengan tergiurnya Hollywood untuk melahirkan remake-nya, Quarantine.  Dan jika horor yang dibintangi oleh Jennifer Carpenter itu bisa dibilang nyaris 95% meng ‘copy paste’ apa yang sudah disajikan [REC],  sekuelnya ini mencoba untuk bersusah payah berjalan sendiri ketimbang mendaur ulang kisah dari sekuel aslinya, [REC] 2 yang notabene sudah keluar terlebih dahulu, sayangnya debut penyutradaran seorang John Pogue yang lebih dikenal sebagai seorang penulis naskah ini rupanya tidak hanya ‘mengkhianati’ cerita pada sekuel orisinilnya saja namun juga menghilangkan bagian paling penting yaitu gaya mockumentary-nya yang sudah memberikan sensasi hebat pada seri pertamanya.
Kisah Quarantine 2: Terminal sendiri mengambil setting beberapa jam setelah peristiwa merebaknya virus mematikan di sebuah apartemen di kota Los Angeles di seri pertamanya, seperti yang sudah sedikit saya singgung diatas ketimbang meneruskan apa yang sudah tersaji dalam [REC] 2, yang melanjutkan petualangan mengerikan pa tepatnya pada malam harinya di bandara LAX, dimana beberapa orang penumpang dan awak pesawat, termasuk karakter utama kita, Jenny (Mercedes Masöhn) seorang pramugari sedang melakukan perjalanan tengah malam. Dan seperti kebanyakan formula film horor, awalnya semua berjalan baik-baik saja di ‘burung besi’ yang membawa para penumpangnya itu menuju Nashville yang berjarak tempuh 19 jam itu sampai seorang penumpang tiba-tiba berubah menjadi ganas dan mulai menyerang penumpang lain.

Zombie dalam pesawat terbang yang mengudara? hmm… itulah gambaran yang pertama kali terbesit dalam benak saya setelah melihat premis, dan tentunya posternya, dan terakhir kali saya mengingat memang belum ada horor-zombie yang menyajikan premis ‘senekat’ itu, hingga saya kemudian membayangkan bagaimana ya kira-kira John Pogue mengembangkan kisah Quarantine 2: Terminal dengan ruang sesempit itu? Dan memang benar tidak mudah melakukannya karena belum sampai menginjak pertengahan Pogue tampaknya mulai kewalahan hingga kemudian ia memindahkan ‘TKP’ nya ke sebuah terminal bandara sebuah kota yang tidak diketahui, dan apa yang terjadi selanjutnya? Seperti sebuah de javu alias pengulangan resep pada film pertamanya, pengkarantinaan yang berujung pada elemen survival kental dari serbuan para manusia-manusia ganas yang terjangkin virus mengerikan itu, bedanya tentu saja kali ini bukan lagi di gedung apartemen dan parahnya di shoot dalam format konvensional meninggalkan segala style dokumenternya yang menjadi ciri khas film pertamanya, tentu saja hal kedua itu membuat saya cukup kecewa.
Dan untuk ukuran screenwriter handal yang pernah melahirkan kisah U.S. Marshals dan The Skulls yang notabene thriller-thriller yang lumayan bagus, Pogue sama sekali tidak mampu menghadirkan sesuatu istimewa disini, selain sebuah repetisi,  bahkan alih-alih menjadi sajian horor menarik, atau setidaknya dapat menyamai kualitas film pertamanya, jujur saja Pogue malah membuat Quarantine 2: Terminal terlihat seperti horror kelas ‘B’ lainnya lengkap dengan segala aktor dan aktris kelas duanya yang berakting pas-pasan. Yah, untung saja sebagai sebuah horor berbasis ‘zombie wannabe’, Quarantine 2: Terminal tidak lupa menghadirkan momen-momen mencekamnya, tentunya yang sebagian besar melibatkan mereka, para ‘terjangkit’ itu yang kehdirannya tidak terduga dan bagaimana para penumpang yang tersisa berlari, bersembunyi dan mempertahankan hidup mereka, untuk bagian satu ini tidak terlalu buruk lah, sayang porsinya tidak banyak, hingga pada akhirnya Pogue meninggalkan penontonnya pada sebuah open ending yang tentu saja memungkinkan franchise ini melanjutkan kisahnya di masa yang akan datang.
Quarantine 2: Terminal, mengecewakan, tidak menarik, sebuah horor kelas dua yang menumpang ketenaran film pertamanya, bahkan premis [REC] 2 yang berkembang konyol saja masih terlihat lebih kreatif dan lebih baik ketimbang debut John Pogue ini. Yah, untuk sekedar hiburan, khususnya buat mereka para penggemar horor, Quarantine 2: Terminal masih bisa lah untuk dinikmati, tapi tentunya jangan berharap banyak.

Review – Tower Heist (2011)


Slide: ” A robbery can change very quickly. You have to be ready to adapt to the situation at any moment. Anything can happen. I was on a job a few days ago and my homie got shot in the face! “
Sutradara trilogi Rush Hour dan X-Men: The Last Stand, Brett Ratner mengisi film terbarunya ini dengan kisah perampokan dengan banyak bintang, ya, sekilas mirip dengan yang sudah dilakukan  Steven Soderbergh dengan remake Ocean’s Eleven-nya, bahkan musiknya sendiri juga mirip, tapi tentu saja pada akhirnya Tower Heist jelas berbeda. Ini adalah komedi kriminal yang bercerita tentang Josh Kovacs (Ben Stiller), menejer karismatik dari sebuah komplek apartemen super elit, The Tower yang berencana merampok 20 juta Dollar dari brankas milik salah satu penghuninya, Arthur Shaw (Alen Alda).
Kenapa Josh yang notabene pria sopan di cintai oleh semua orang dan sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya itu sampai nekad melakukan tindakan berbahaya itu? Karena pria tua kaya tersebut sudah menipu dan mencuri uang pensiun miliknya dan juga teman-temannya sesama pegawai The Tower. Jadi dalam rangka melancarkan aksi balas dendamnya kepada Shaw, Josh kemudian mengajak sang resepsionis yang juga adik iparnya, Charlie Gibbs (Casey Affleck), Enrique Dev’reaux (Michael Peña), si operator lift, mantan broker Wall Street yang bangkrut, Mr. Fitzhugh (Matthew Broderick) dan kriminal kelas teri, tetangga Josh, Slide (Eddie Murphy).
Dari awal Tower Heist memang tidak pernah menjadikan dirinya sebagai tontonan perampokan yang kelewat serius apalagi pintar, walaupun ada perencanaan sok keren dan sedikit tema berat tentang sepak terjang Wall Street dan orang-orang yang telah dirugikan oleh bursa saham terbesar di dunia itu di dalamnya. Tapi bagaimanapun ia tetap punya gaya tersendiri dan Ratner sudah menghadirkan semua elemen untuk menjadikannya komedi santai dan cepat dengan campuran antara banyak Ocean’s Eleven, sedikit Wall Street dan sedikit juga Robin Hood serta tidak lupa dialog-dialog kocak, terutama yang keluar dari mulut cerewet Eddie Murphy dan juga karakter-karakter lainnya yang pintar-pintar bodoh., termasuk karakter Claire Denham (Téa Leoni) agen FBI
Paruh pertama Tower Heist mengalir dengan baik, termasuk ketika Ratner memperkenalkan satu per satu karakternya, menghadirkan konfliknya dan bagaimana ia kemudian menjadikan Stiller sebagai pimpinan ala Danny Ocean yang memimpin segerombolan amatiran untuk melakukan perampokan 20 juta Dollar itu. Tentu saja yang namanya komedi pasti banyak rentetan kejadian konyol tak terduga, begitu juga Tower Heist. Sayang menginjak 1/3 akhir terlalu banyak adegan-adegan serba maksa, seperti terlalu diatur untuk menjadi lucu, termasuk ‘lubang’ besar di sana sini yang mungkin membuat penontonnya mengerutkan dahi. Yah, tapi sekali lagi karena ini komedi anda harus memaklumi kalau ia berlaku bodoh, sengaja ataupun tidak.

Review – Thor (2011)


“  The god of thunder. The king of Asgard. The god of mischief. The guardian of worlds. The goddess of war. The woman of science “

“And you are an old man and a fool!” begitulah pekik angkuh Thor (Chris Hemsworth) kepada Odin (Anthony Hopkins), ayahnya yang langsung membuat penguasa tertinggi Asgard itu geram luar biasa, bukan hanya karena Thor menghina dan tidak mematuhi dirinya sebagai ayah dan Raja, namun juga karena  kesombongan dan perbuatan lancang putranya itu yang kemudian memicu kembali perang lama dengan kaum Frost Giants dari dunia Jotunheim . Dan apa yang terjadi kemudian, tidak hanya melepaskan segala kekuatan kedewaannya, Odin pun membuang  Thor ke bumi termasuk melucuti Mjolnir- palu sakti dari tangannya sebagai  hukuman setimpal atas segala perbuatannya itu.
Di bumi, Thor bertemu dengan astrophysicist cantik,  Jane Foster (Natalie Portman) yang kemudian menolongnya untuk memulai fase barunya sebagai manusia biasa dan mencari arti  tentang hidup serta bersikap sebagai ksatria sejati guna memperoleh kekuatannya kembali- dan Mjolnir tentunya. Sementara itu di Asgard, adik laki-lakinya yang licik, Loki (Tom Hiddleston) merencanakan rencana jahat buat Asgard dan juga bumi kita.
Thor, untuk ukuran seorang pahlawan super pamor dewa guntur ini mungkin tidak setenar pahlawan-pahlawan Marvel Comics lain macam Spiderman, Hulk, Iron Man maupun X-Men. Ironis memang, padahal dari segi kekuatan Thor jelas jauh lebih dahsyat dari si manusia laba-laba, ilmuwan hijau pemarah, miliyuner hedon dengan baju besinya, atau kumpulan para manusia mutan, tapi karena ia adalah refleksi alternatif dari sebuah mitologi kuno kaum Norse yang jauh dari bayangan akan sosok superhero ideal, maka tidak terlalu heran jika Thor menjadi kurang populer. Tapi tunggu dulu, pihak Marvel dan Paramount rupanya masih percaya bahwa superhero mereka satu ini masih memiliki daya magis untuk tetap dinanti oleh para penontonnya, baik oleh die hard fans-nya sendiri atau sekedar penikmat film awam seperti saya, bukan hanya dikarenakan film ini menawarkan sebuah paket hiburan superhero yang menarik seperti koleganya- setidaknya melihat dari trailernya yang keren itu, namun yang terpenting juga karena ini  menjadi kepingan puzzle lain untuk  melengkapi proyek besar nan ambisus Marvel Studios, The Avengers 2012 nanti.
Ok, mari lupakan dulu The Avengers yang masih lama kehadirannya itu, mari kita membahas bagaimana sepak terjang anak dewa Norse yang rupanya berhasil digarap memukau oleh sutradara sekaligus aktor, Kenneth Branagh. Ya, Branagh sukses menampik segala keraguan yang dialamatkan kepadanya sebelumnya dengan menghadirkan Thor sebagai sebuah sajian superhero yang tidak hanya terlihat megah-menawan secara fisik namun juga  mengasyikan dan enjoyable dalam prosesnya bercerita, terlebih disaat Branangh mampu menerjemahkan naskah yang ditulis trio Ashley Edward, MillerZack dan StentzDon Payne dengan sangat baik, mengawinkan segala pesona pahlawan super dengan segala efek cantikya, mitologi kuno, dan juga Shakespeare dalam satu kesatuan utuh, seperti melihat Hamlet versi ringan dalam wujud manusia super, membuat Thor terasa lebih meyengarkan ketimbang kisah-kisah superhero lainnya.
Aksi, spesial efek, romansa, sedikit komedi serta pertarungan kebaikan melawan kejahatan, Ya, Branagh sepertinya tahu benar memasukan setiap elemen dalam setiap kisah superhero yang ada untuk membentuk Thor dengan segala kemagisannya. Lihat saja bagaimana Asgard yang disajikan begitu cantik dan begitu menawan dengan tata artistik yang jempolan serta warna-warni cemerlang. Menggabungkan cita rasa kuno dan modern seperti yang terlihat pada setiap bangunan kota para Dewa itu termasuk interior sampai kostum-kostum mengkilat yang dikenakan para pejuangnya. Rangkaian Momen aksinya yang seru pun tidak ketinggalan memenuhi durasinya yang mencapai hampir dua jam, dari pertarungan Thor bersama teman-teman setianya di Jotunheim yang dingin itu sampai adegan penghancuran total di sebuah kota di New Mexico oleh The Destroyer di akhir cerita.
Menunjuk aktor kurang terkenal Chris Hemsworth untuk didapuk menjadi sang Dewa Petir bisa jadi adalah perjudian yang berbuah manis. Jujur saja ini adalah sebuah keputusan tepat saya menyukai penampilan Hemsworth  disini, terlepas dari segi fisiknya yang memang pas memerankan sosok Thor dengan modal postur tinggi besarnya, rambut dan janggut keemasan yang menghiasi wajah manisnya, aktor yang sempat berperan sebagai George Kirk – ayah kapten Kirk dalam reboot Star Trek arahan J.J Abrams ini memang sukses mengambil simpati penontonnya dengan segala sifat keangkuhannya sebagai anak Dewa dan tingkah laku komikalnya sebagai manusia biasa. Untuk pemeran pendukung lainnya sepertinya juga tidak ada masalah berarti. Memasang aktor senior sekelas Anthony Hopkins dengan segala kharisma hebatnya sebagai Odin terbukti berhasil menghadirkan sosok Raja para dewa yang berwibawa. Natalie Portman sebagai Jane Foster, love interst Thor pun masih menawarkan kencantikannya yang tidak hanya mampu mempesona dewa Norse namun juga para penontonnya. Bahkan karakter Heimdall yang dibawakan Idris Alba pun masih memiliki porsi menarik tersendiri sebagai Heimdalll, penjaga gerbang bifröst. Mungkin hanya Kat Dennings yang membawakan Darcy Lewis menjadi satu-satunya peran yang sama sekali tidak penting, kecuali disaat ia menyetrum Thor sampai pingsan di awal-awal cerita sebelum ia sempat memperkenalkan siapa dirinya, ya, adegan itu memang menghibur.
Bukan film superhero terbaik yang pernah saya tonton memang, tapi dengan segala kombinasi kemagisan mitologi kunonya, aksi seru yang mengasyikan, spesial efek cantik, naskah menarik plus balutan eksekusi cepat nan memukau,  Thor jelas dengan mudah dapat memenangi hati penontonnya seperti disaai ia juga dengan mudah memenangi hati Jane Foster untuk menjadi sebuah sugguhan action superhero flick  renyah dan menghibur. Well Done Kenneth Branagh, well done!.

10 Fantastic Movies to Look Forward in 2012

Tahun 2011 mungkin bukan tahun yang terlalu baik untuk penonton film. Selain ‘tragedi’ terputusnya distribusi film impor, entah mengapa saya merasa film tahun ini banyak yang tidak sebagus janji yang diberikan di trailer maupun buzz-nya. Tetapi melihat daftar film tahun 2012, rasanya semangat kembali membara untuk menonton, apalagi tidak sedikit film dari genre fantastik. Saya mencoba membuat daftar  yang kelihatannya paling patut ditunggu.

10. The Hunger Games

Directed by: Gary RossStars: Jennifer Lawrence, Josh Hutcherson, Liam Hemsworth, Woody Harrelson. Release:  Maret 2012
Plot: Amerika Utara di masa depan runtuh dan digantikan dengan negara yang disebut Panem yang memiliki 12 distrik. Setiap tahun, dengan cara diundi, sepasang remaja perwakilan dari distrik akan terpilih untuk dilatih dan mengikuti The Hunger Games yang disiarkan di televisi ke seluruh negeri. Bukan cuma kuis biasa, permainan ini adalah antara hidup dan mati.
Why we’re excited: Dari novel best seller karya Suzanne Collins dengan judul yang sama, selain film ini memiliki plot yang menarik juga dihiasi dengan wajah imut Jennifer Lawrence. Trailer tampak menjanjikan petualangan yang seru juga setting futuristik/ klasik. Sutradaranya, Gary Ross sebelumnya menyajikan Pleasantville yang merupakan salah satu film favorit saya di akhir tahun 90an.

9. Chronicle

Directed by: Josh Trank. Stars: Michael B. Jordan, Dane DeHaan, Michael Kelly, Alex Russell. Release:  Februari 2012
Plot: Tiga sahabat di usia SMA mendapatkan kekuatan super setelah secara tidak sengaja menemukan sesuatu yang luar biasa. Ikatan persahabatan mereka kemudian diuji ketika kekuatan super itu membuat mereka lupa diri.
Why we’re excited: Cerita dari film ini sangat dirahasiakan, walaupun sudah jelas bernada misteri dan horor. Dengan cast and crew yang rata-rata masih berusia sangat muda, film ini disebut-sebut sebagai Cloverfield meets Unbreakable. Gaya semi-mockumentary ditambah unknown actors menambah rasa penasaran.

8. John Carter

Directed by:  Andrew Stanton. Stars: Taylor Kitsch, Lynn Collins, Thomas Haden Church Mark Strong, Willem Dafoe. Release:  Maret 2012
Plot: Seorang veteran perang saudara terdampar di Mars, yang ternyata merupakan planet yagn subur dan dihuni oleh kaum barbar dengan tinggi tubuh 3.5 meter lebih. Setelah membebaskan diri dari sekapan makhluk-makhluk ini, Ia malah bertemu dengan seorang putri yang butuh bantuannya.
Why we’re excited: Kalau melihat plotnya memang sangat “General Audience” apalagi film ini dilansir oleh Disney bekerja sama dengan Pixar (merupakah film live action pertama yang melibatkan Pixar), tetapi ada beberapa trivia di belakang film ini yang, bisa membuat turned-off atau malah semakin membuat penasaran. Cerita yang asalnya buku karya Edgar Rice Burroughs ini sudah dibeli oleh Disney sejak tahun 1931, dan sejatinya menjadi film animasi panjang Disney pertama (bukan Snow White and the Seven Dwarfs), tetapi mengalami banyak kesulitan. Tahun 2004 proyek ini kembali dibuka oleh Paramount dengan sutradara Robert Rodriguez, kemudian digantikan oleh Kerry Conran, kemudian Jon Favreau pada tahun 2006. Di tahun ini Paramount kehilangan minatnya dan memilih fokus ke film Star Trek, sementara Favreau menggarap Iron Man. Disney mendapatkan kembali hak film tahun 2007 dan langsung merangkul Andrew Stanton, sutradara langganan Pixar untuk menggarap. Cursed or blessed? You’ll be the judge.

7. The Cabin in the Woods


Directed by:  Drew Goddard. Stars: Kristen Connolly, Chris Hemsworth, Anna Hutchison. Release:  April 2012
Plot: Hal buruk terjadi saat lima rekan liburan di sebuah rumah di hutan.
Why we’re excited: Banyak sekali alasan: bocoran cerita yang sangat irit, Joss Whedon, Drew Goddard, poster yang… Tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Drew Goddard adalah penulis sekaligus produser di beberapa proyek J.J. Abrams seperti Lost, Cloverfield dan Alias, juga Joss Whedon seperti Angel. Untuk pemuja J.J. Abrams seperti saya, itu saja sudah merupakan cukup alasan. Tetapi keterlibatan Joss Whedon juga membuat semangat fans sci-fi yang mengikuti sepak terjangnya.

6. The Raven


Directed by:  James McTeigue. Stars:  John Cusack, Alice Eve,  Luke Evans. Release:  Maret 2012
Plot: Cerita fiksi dari hari-hari terakhir penulis kelam Edgar Allan Poe dalam usahanya menangkap seorang pembunuh berantai yang menggunakan cerita ciptaannya sebagai modus operandi.
Why we’re excited: Period ‘whodunnit’ thriller from V for Vendetta’s director? What’s not to like? John Cusack yang sudah mulai ‘berumur’ juga terlihat sangat fasih memerankan penulis kenamaan Amerika ini. Terutama bagi penggemar Mr. Poe, tentunya ingin sekali melihat realisasi dari kata-katanya yang mencekam di bukunya. Intip trailernya untuk realisasi dari The Pit and the Pendulum. Mudah-mudahan bukan film yang membuat kita ingin mengatakan “nevermore”.

5. The Woman in Black


Directed by:  James Watkins. Stars:  Daniel Radcliffe, Ciarán Hinds Janet McTeer. Release:  Pebruari 2012
The Plot: Seorang pengacara muda yang melakukan perjalanan ke sebuah desa terpencil yang diteror oleh hantu seorang wanita yang tampaknya bernapsu membalas dendam.
Why we’re excited: Ngaku saja, kalau kita ternyata kangen juga dengan Daniel Radcliffe setelah film Harry Potter terakhirnya. Aktor muda ini tampaknya juga cukup jeli dalam memilih film yang membawa karirnya agar semakin matang. Mungkin nama James Watkins, sang sutradara kurang akrab di telinga, tetapi kabarnya selain The Descent 2, dia telah menyutradarai Eden Lake, film thriller tahun 2008 yang underrated dan dibintangi oleh Michael Fassbender. Mari kita cari filmnya!

4. Modus Anomali

Directed by:  Joko Anwar. Stars:  Rio Dewanto, Hannah Al Rasyid. Release:  April 2012
The Plot: Seorang pria sadar dari pingsan dan menemukan dirinya terkubur di tanah dengan rekaman video yang mengerikan tentang pembantaian sebuah keluarga. Ditemukan juga banyak jam yang seolah ingin mengingatkannya tentang tenggat waktu, tetapi tenggat waktu apa?
Why we’re excited: Buzz film ini sudah menyebar sejak pertengahan tahun lalu. Siapa yang tidak penasaran? Walaupun tidak diragukan lagi kualitas filmnya, fans Joko Anwar sudah menunggu lebih dari 3 tahun untuk film ini. Rio Dewanto, aktor yang sedang banyak dicari kabarnya membawa karakter utama dengan kuat. Lala Timothy dan Joko sudah berbaik hati mengundang saya ke set Modus Anomali November lalu, dan dari potongan scene yang saya saksikan saat shooting, saya tetap tidak bisa (atau tidak ingin) menebak ke mana jalan ceritanya, dan semakin penasaran ingin menyaksikannya.

3. Looper 


Directed by:  Rian Johnson. Stars:  Joseph Gordon-Levitt, Bruce Willis, Emily Blunt. Release:  September 2012
The Plot: Seorang pembunuh bayaran yang disewa mafia mendapatkan tugas ke masa depan dan menemukan bahwa salah satu targetnya adalah dirinya sendiri di masa itu.
Why we’re excited: The plot sounds familiar, doesn’t it? Bruce Willis juga terlibat di film ini. Selain tentunya Joseph Gordon-Levitt (did I hear “kyaaa!” from your side of the monitor?). Rian Johnson, sutradaranya kabarnya sudah memulai test screening film ini setahun sebelum tanggal rilis dan isu yang terdengar menjanjikan! Kalau saya langsung teringat dengan 12 Monkeys, beberapa sumber yang terbaca malah membandingkan film ini dengan Moon. Let’s see for ourselves. September masih lama ya!

2. Innkeepers 


Directed by:  Ti West. Stars:  Kelly McGillis, Pat Healy, Sara Paxton. Release:  Pebruari 2012
The Plot: Di hari-hari terakhir sebuah hotel yang akan ditutup, dua orang karyawan memutuskan untuk mencari  tahu tentang masa lalu bangunan tersebut, dan pengalaman mengerikan pun dialami.
Why we’re excited: Setelah Insidious, rasa rindu terhadap old-fashioned American scare masih ada, dan mudah-mudahan film ini bisa mengobatinya. Ti West yang sebelumnya menyutradarai The House of the Devil telah cukup dikenal handal dalam membangun mood, juga humor yang agak aneh dari interaksi karakter di filmnya. Untuk yang satu ini mudah-mudahan tidak lama lagi dapat kita saksikan di bioskop.

1. Prometheus


Directed by:  Ridley Scott. Stars: Noomi Rapace, Michael Fassbender, Guy Pearce, Idris Elba, Logan Marshall-Green, Charlize Theron. Release:  Juni 2012
The Plot: Sebuah tim pengelana angkasa menemukan petunjuk dari asal muasal manusia di bumi, sehingga mereka terlibat dalam perjalanan ke pelosok jagad dan harus memperjuangkan keselamatan umat manusia di masa depan.
Why we’re excited: Rumor awal mengatakan bahwa film ini adalah prequel dari Alien. Sebenarnya itu saja sudah cukup membuat deg-degan. Kemudian bergabunglah Damon Lindelof, salah satu otak di balik cerita penuh misteri dan lapisan serial Lost. Kemudian Ridley Scott menampik kalau Prometheus adalah prequel dari Alien. Belum berapa lama yang lalu dirilis trailer yang gelap, membingungkan tetapi berhasil membuat bulu kuduk berdiri. Sepertinya sampai di situ saja saya mencari bocoran dari film ini, karena saya ingin menikmatinya dengan maksimal tanpa ekspektasi apapun (agak terlambat sih…).

Honorable Mention

7500


Directed by: Takashi Shimizu. Stars: Leslie Bibb, Ryan Kwanten, Amy Smart. Release:  Agustus
The Plot: Para penumpang sebuah pesawat yang terbang di atas laut Pasifik mengalami kejadian supranatural.
Why we’re excited: Takashi Simizu bisa dibilang hanya terkenal dengan The Grudge, juga mengawali karirnya di Hollywood dengan membuat remake dari filmnya sendiri dengan hanya bermodal Sarah Michelle Gellar, karena The Grudge versi US tidak diterima dengan baik secara komersil maupun kritikus. Tapi usahanya kali ini patut menggelitik rasa penasaran kita karena tidak ada aktor terkenal yang terlibat. Thriller di pesawat terbang di ketinggian ribuan kaki? Can’t get enough of that!

Movienthusiast: Bests of 2011


Happy New Year! Ah, akhirnya kita sampai juga di tahun yang baru, tentu saja banyak hal yang terjadi selama tahun 2011 lalu, salah satu tahun yang luar biasa bagi dunia perfilman karena banyak ditandai dengan kemuculan film-film bagus, memang tidak semua memang bisa hadir di bioskop tanah air, khususnya film luar karena permasalah pajak impor yang mendera hingga pertengahan tahun lalu dan membuat pasokan film-film Hollywood yang tergabung dalam MPAA tersendat, tapi toh banyak jalan menuju Roma, selalu ada cara lain untuk menonton film bagus, tidak harus lewat layar bioskop, tidak harus melulu menonton film produksi studio-studio besar Holywood karena banyak juga film ‘kecil’ lain yang juga tidak kalah bagusnya seperti beberapa diantaranya yang sudah kami rangkum dalam daftar film-film terbaik 2011 versi kami, sekali lagi ini versi kami, jika film favorit anda tidak ada di sini, bukan berarti tidak bagus, mungkin kami belum sempat menontonnya :) . Enjoy!
PS: Klik gambar untuk melihat ulasan penuh

Naskah juara dari Will Reiser dan Joseph Gordon-Levitt adalah bintang  di sini yang mampu melebur sempurna dalam penyutradaraan apik dari Jonathan Levine  membuat 50/50 tidak hanya sukses membuat anda tertawa dengan joke-joke gelap-segarnya, kisah persahabatan dan sedikit romansanya. Ya, tidak selamanya film tentang penderita kanker itu harus berakhir menjadi sebuah melodrama cengeng.

Temanya boleh saja terlihat berat, tapi siapa yang menyangka bahwa ia ternyata mmapu  menjadi suguhan drama begitu mudah ringan untuk dinikmati. Sebuah feel good movie inspirasional dan juga menghibur tentang perjuangan para pembantu rumah tangga kulit hitam dalam usaha mereka memperoleh kesetaraan hak yang diisi dengan dukungan ensemble cast wanita paling mengesankan tahun ini.

Aktis terbaik, sutradara terbaik dan film Indonesia terbaik, ya, tiga piala Citra itu tampaknya sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana kedahsayatan Sang Penari, sebuah romansa berlatar belakang sejarah kelam Indonesia dan budaya Rongeng kental yang mengetarkan plus dukungan teknis yang nyaris sempurna.

MAAF, ARTIKEL INI SEDANG DALAM PROSES UPDATE!!!


Sebuah romansa pahit-manis dengan rasa indie kental yang berbalut narasi sederhana tentang kekuatan cinta. Menjadi menarik dan emosional ketika Drake Doremus membungkusnya dengan segala kesederhanaan bercerita, pemilihan sudut-sudut kamera yang cantik termasuk memaksimalkan akting dua pemeran utamanya, khususnya Felicity Jones yang tampil luar biasa.

Sudah lama tidak melihat film tentang baseball yang bagus, dan Moneyball menjawab kekosongan itu dengan menghadirkan sebuah biopik hebat dan berkesan. Tidak perlu menjadi fans baseball untuk dapat menikmatinya, biarkan naskah Zaillian-Sorkin dan penyutradaraan Bennett Miller mengajari anda, yah, siapa tahu saja anda bisa mulai menyukainya dari sini, apalagi ada Brad Pitt yang tampil fantastis disini sebagai seorang GM karismastik.
Lagi-lagi sebuah adaptasi luar biasa dari seorang David Fincher. Lebih bagus dan lebih mencekam dari versi Swedianya tanpa harus banyak mengkhianati novelnya. Dan siapa yang menyangka jika Rooney Mara mampu tampil sebaik ini sebelumnya. Sebuah thriller cerdas dan berani, salah satu yang terbaik dari David Fincher, sayang Oscar tahun ini tidak meliriknya.
Jarang menemukan komedi semenarik dan seunik ini. Carnage tidak butuh adegan-adegan slapstik super konyol dan jorok untuk dapat membuat penontonnya terus tersenyum bahkan tertawa lepas di sepanjang film. Ia memiliki lokasi yang terbatas, premis sederhana dan bahkan hanya diisi 4 karakter di nyaris 95% durasinya, tapi semua elemennya simpelnya itu rupanya mampu dimaksimalkan Polanski dengan sangat baik  untuk menjadikannya sebuah komedi hitam yang cerdas dan juga sangat menyenangkan untuk ditonton.

Sebuah drama keluarga, thriller psikologis atau film tentang kiamat? Tidak ada yang bisa memastikannya sampai kamu benar-benar berada di ujungnya. Ya, ini sebuah film indie hebat dari sutradara muda visioner yang berani dan cerdas dalam mengabungkan berbagai tema provokatif menjadi sebuah kesatuan sempurna plus penampilan mengkilap dari Michael Shannon menjadikan Take Shelter sebagai salah satu drama terbaik 2011 lalu.
Midnight in Paris adalah surat cinta dari seorang Woody Allen untuk Paris, sebuah romcom ringan nan mempesona yang mengusung tema fantasi tentang perjalanan ke masa lalu yang penuh nostalgia dan sentimentil serta pencarian jati diri seorang manusia dengan balutan humor-humor cerdas dan gambar-gambar cantik kota Paris yang berkilauan.

Warrior dengan segala pertarungannya yang keras, brutal dan kejam, sekejam tatapan sinis Tom Hardy disini ia tetap adalah sebuah drama olahraga-keluarga yang ‘lembut’ dan penuh emosi, tidak sedikit yang menyebutnya cengeng yang sanggup membuat penontonnya tenggelam dalam drama serta rangakaian momen adu jotosnya yang hebat, lihat endingnya yang luar biasa itu, hanya manusia yang tidak punya hati yang tidak tersentuh.

Ya, luar biasa memang karya Dardenne satu ini, di balik kesederhanaan permisnya mereka mampu menghadirkan sebuah narasi coming of age bocah 11 tahun yang hebat dengan teknis penyutradaraan gemilang dan performa hebat dari aktor ciliknya. Sebuah dongeng realistis dengan hati yang besar.

Melodrama scifi-horor cantik ala Pedro Almodóvar yang tidak ada duanya. Tidak ada jeritan dan kengerian berlebih yang tampak secara kasat mata, tapi ada sesuatu di dalamnya yang sanggup membuat penntonnya  terkejut bahkan bergidik disaat sutradara berambut putih ini menyibak setiap misterinya dalam balutan peyutradaraan dan narasi kuat yang merambat pelan dengan elemen suspensenya disetiap menit. Awas, twistnya bisa ‘menampar’ keras anda.

Ya, siapa yang menyangka jika We Need to Talk About Kevin bisa menjadi tontonan ‘horor’ domestik yang begitu menakutkan dan begitu menyayat hati, khususnya bagi setiap orang tua atau juga bagi mereka yang berencana menjadi orang tua. Ramsey dengan cerdas menghadirkan kengerian tanpa wujud di setiap adegannya, bermain-main melalui imajinasi penontonnya melalui narasi tumpang tindih, aroma depresif kental dan performa hebat Tilda Swinton.

Debut penyutradaraan fantastis dari aktor watak inggris, Paddy Considine, menghasilkan sebuah drama depresi tentang manusia-manusia bermasalah yang menyesakan, penuh ledakan kemarahan dari Peter Mullan dan kehancuran jiwa Olivia Colman yang bermain sangat bagus hingga kemudian Considine menutupnya dengan sangat kegetiran yang manis.

Gaya film aksi 80 an termasuk soudntracknya yang keren dan penampilan sosok Ryan Gosling sebagai supir jagon nan misterius dengan jaket bercorak kalajengkingnya rupanya sanggup mempesona banyak penontonnya, padahal ia bukan tipe film aksi yang glamor dan meledak-ledak, sebaliknya, Nicolas Winding Refn membalutnya dengan teknis arthouse yang kental, sedikit lambat, minim dialog dan porsi kekerasan cukup tinggi. Adegan dalam lift itu adalah juaranya di sini.

Tidak terlalu berlebihan jika saya kemudian menyebut The Tree of Life adalah mahakarya agung, sebuah puisi bergerak dan  perjalan spiritual dari seorang pujangga hebat bernama Terrence Malick yang dibalut dengan teknis sinematik nyaris sempurna. Ya, ini memang adalah sebuah drama arthouse berat dan sukar untuk dicerna, tapi seperti yang sudah pernah saya katakan, jangan berfikir terlalu keras untuk memahaminya, rasakan saja karena selama anda masih punya hati saya jamin tangan hanat Malick akan mampu menyentuh anda dari dalam dengan caranya yang tidak biasa itu
Hugo punya kualitas teknis luar biasa, tidak heran jika para juri Oscar kemudian memberinya 5 patung emas di departmen tersebut, tapi Hugo bukan hanya soal teknis dan visual yang hebat, Martin Scorsese sudah membuat sebuah drama keluarga berbalut sejarah sinema yang sangat manis dam mengesankan, sebuah tribute untuk dunia sinema yang sudah membesarkan namanya. Fantastis!
The Artist adalah sebuah homage sempurna untuk silent movie, sebuah sajian hangat penuh nostalgia manis dan senyuman. Menontonnya seperti sedang bertemu dan berpelukan erat dengan sahabat lama, dan sebuah ungkapan “Diam itu Emas” tampaknya sangat pas untuk menggambarkan kehebatan Hazanavicius, Durjadin dan The Artist.

Dibuka dan diakhir dengan luar biasa, itulah A Separation, sebuah drama tentang perpisahan dalam sebuah keluarga menengah Iran yang juga membahas arti lain dari nilai-nilai kejujuran yang mampu berjalan berdampingan dengan manisnya dengan elemen-elemen agama, moralitas, sosial bahkan court room drama sekalipun tanpa harus berat sebelah, tanpa terlihat overdramatis, Ya, semuanya itu disajikan dengan naskah dan penyutradaraan brilian oleh Asghar Farhadi

Saya mungkin bukan penggemar nomor satu dari balapan jet darat Formula One, atau khususnya Aryton Senna, tapi siapa yang mengria bahwa dokumenter garapan Asif Kapadia ini sungguh mampu memberikan sensasi luar biasa, membuat saya serasa begitu dekat dengan sosok pembalap legendaris asal Brasil itu, melihat bagaimana kehidupan dan kariernya melalui ratusan jam footage-footage dan narasi dari orang-orang terdekatnya yang diedit sempurna.


No comments: